Monday 22 September 2014

Pelajaran hidup di halte MUI

Ceritaku kali ini mungkin masih senada dengan yang kemarin, ini tentang wanita yang tangguh. Saya bangga menjadi wanita sebagaimana engkau bangga menjadi pria. Saat tadi pagi jogging, di tengah jalan saya istirahat sebentar di halte MUI (nama masjid UI). Disitu bukan hanya saya, ada beberapa orang yang sepertinya sedang melakukan hal yang sama. Tidak ada space yang cukup luas untuk meluruskan kaki saya kecuali duduk bertolak belakang dengan 2 cowok yang lebih dulu duduk disitu. Ketika saya duduk dan menaikkan kaki saya, datanglah 2 ibu-ibu dengan anak balita yang lincah seneng jalan. Satu dari mereka pergi mengikuti si anak ini jalan, tapi yang satunya tetep disitu.

Entah siapa yang diajak ngobrol apakah mas-mas belakang saya atau saya tapi yang jelas ibu itu ngomong sesuatu tentang cucunya. Daripada dikira sombong ya tidak ada salahnya saya merespon. Ya dia cerita tentang cucunya yang sangat aktif dan lincah. Saya berpikir ini cucu pertamanya karena terlihat dari cara ibu bercerita dengan semangat dan senang sekali. Setelah cerita cucu, ibu itu cerita tentang anak-anaknya. Jadi anaknya ada 3 , semua udah selesai kuliah di UGM,UNY dan UNJ. Anak pertama udah nikah, nah yang anak ketiga mau lamaran meloncati yang kedua. Coba kamu tebak setelah ini dia cerita tentang siapa?

Yaps, tentang suaminya. Ibu ini cerita kalau dia sudah berpisah dengan suaminya. Meskipun tidak ada surat cerai resmi tapi mereka sudah pisah rumah sejak tahun 2000. Kata ibu:"saya pisah karena bapak nikah lagi tanpa sepengetahuan saya". Saya nebak aja oh berarti nikah siri , tapi ternyata nikah resmi karena suaminya mengaku masih bujangan. Jujur ya, saya bukan pertama kali denger kasus seperti ini tapi baru kali ini saya tahu ada orang ngaku lajang sementara dia akan menikah dengan orang yang umurnya sama dengan anak pertamanya. Ibu itu sendiri yang bilang, dia lebih memilih yang muda yang umurnya sama seperti anak pertama saya.

Ada yang menarik ketika ibu itu bilang:" saya bersyukur mbak hari tua saya tidak kurang, meskipun dulu harus gali tutup lubang sendirian kuliahin anak tapi sekaranh semua anak-anak kasih jatah bulanan dan saya sendiri juga punya kontrakan. Meskipun saya pisah tapi bapak juga tidak minta gono gini jadi saya juga bisa tenang membalik nama yang saya punya ke anak-anak saya." Saya bisa menangkap bagaimana anak-anakny sayang banget sama ibu itu. Dulu ketika suaminya ketauhan nikah lagi, ibu ini bilang menyuruh suaminya untuk memilih sini atau sana dengan catatan kalau memilih sana silakan pergi dari rumah ini tapi jangan bawa apa-apa. Ibu bilang:"ya sudah ternyata dia lebih memilih sana mbak." Ya dulu kan masih kuat uangnya istilahnya masih kerenlah kerja di kontraktor. Tapi setelah PHK sekarang kehidupannya susah." Kalau pas lagi susah gini dia baru nyari-nyari istri tua mbak.

Sebenarnya ibu ini terlihat masih respect dengan suaminya tapi bagaimanapun hati terlanjur tersakiti. Jadi ibu itu bilang kalau anaknya mau lamaran jadi butuh Ayah kandungnya. Makanya janjian disini untuk ketemu. Ibu itu memang tahu usaha suaminya apa tapi dia dan anak-anaknya tidak tahu tempat tinggalnya sekarang dimana. Saya kira itu wajar, ibunya boleh respect tapi tidak dengan anak-anaknya. Mana ada anak yang tidak marah ketika lihat ibunya susah payah menghidupi 3 anak sementara ayahnya memilih bersenang-senang dengan wanita lain.

Lantas ibu itu memegang saya dan bilang :"kamu nanti kalau milih suami dilihat dulu keluarganya, latar belakangnya jelas apa tidak, agamanya, akhlaknya. Jangan sampai salah justru ganggu rumah tangga orang". Beberapa saat kemudian anaknya dateng lalu saya pamit untuk lanjut jogging lagi. Saya tidak enak kalau saya masih tetep disitu nanti ibunya lanjut cerita sementara saya takut anaknya tidak berkenan. Saya tidak kenal siapa ibu itu dan sebaliknya tapi saya cukup tercengah ketika ibu itu bisa cerita segitu jauh padahal saya disitu mungkin hanya sekitar 10menit. So the story run :)

Share:

0 comments:

Post a Comment