Wednesday, 17 June 2015

Ekspose Masalah Pribadi ke Publik

Saya baru touch down Kediri kemarin dan kerjaan saya seharian cuma nonton TV. Selama di kost tetap nonton TV sih sesekali, tapi seringnya cuma streaming berita. Kemarin pas bener-bener nonton TV rasanya kaget banget, kenapa jadi seperti ini sih tayangan TV. Genre apa kontennya apa? Sedih saja, masyarakat dipaksa mengkonsumsi masalah-masalah pribadi para bintang televisi produk kapitalisasi. Untung saya adalah generasi 90an yang masih bisa nonton teletubis di pagi hari. Saya gak ngerti lagi dimana fungsi agen sosialisasi televisi, terutama bagi anak-anak. Kasian orang tua jaman sekarang, mereka harus kerja lebih ekstra untuk mengontrol tayangan yang anak-anak mereka saksikan.
Waktu YKS dihentikan, itu seperti isu yang menarik sekali dibahas, terlebih lagi di kelas komunikasi massa. Tapi saat itu saya masih tidak terlalu keberatan. oke mungkin bagi sebagian orang program ini tidak mendidik, tapi bagi saya gak masalah toh emang ini bukan program edukasi tapi hiburan. Selama program itu masih sesuai dengan genrenya ya tidak masalah, mungkin masalah oknum saja jika ternyata ada kata-kata yang tidak pantas. Ini beda dengan kasus yang membuat saya sedikit miris, katanya genre music/entertainment tapi kok satu segmen isinya gosip.
Kemarin pagi saya nonton eat bulaga isinya satu segmen adalah drama cinta vicki prasetyo. Nah pagi ini ternyata masih ada juga segmen drama itu. OMG, ini mah namanya kaderisasi vickinisasi.  Apa sih urgensinya seluruh Indonesia tahu masalah pribadinya vicki? Saya juga gak kenal dia dan masalahnya juga gak ngaruh di hidup saya. Kenapa dibawa-bawa ke publik gini, seolah-olah masalahnya jadi masalah bersama yang perlu dipecahkan seindonesia. Kalau begini ceritanya mah bukan hiburan, malah bikin orang gedek denger omongan vicki. Coba deh kalau yang beginian di tonton anak-anak, mungkin beberapa tahun ke depan mereka gak tau kisah cinta cinderella tapi tahunya kisah cinta vicki kali ya.

 
Acara ini juga gitu, katanya acara musik tapi satu segmen isinya curhatan prahara cinta yang sama sekali gak ada hubungannya dengan kesejahteraan negara. Saya juga gak tau sih sebenarnya apakah dengan adanya segmen ekpos masalah pribadi ke ruang publik gini bisa menaikkan rating? nanti perlu coba saya cari data Nielsen soal ini. Saya jadi takut nasib pertelevisian Indonesia seperti Amerika. Ketika TV sudah dikuasai swasta untuk kepentingan komerisil, TV tak lagi menjadi sarana informasi dan komunikasi publik, tapi TV seperti tong sampah (istilahnya VAST WASTELAND). Padahal frekuensi yang digunakan TV itu milik publik, justru mereka yang harus bayar. Tapi, bukan berarti kita punya kontrol penuh juga, jangan lupa kita adalah negara hukum. Bagaimanapun, Indonesia punya KPI sebagai lembaga yang berwenang mengatur soal penyiaran. Meskipun belakangan KPI seperti bungkam, namun sebenarnya tidak. Jika anda masuk ke website KPI, disitu kita bisa melihat banyak infor, termasuk berapa banyak dan apa saja surat teguran yang diberikan KPI ke stasiun TV.
Share: