Assalamualaikum, apa kabar teman-teman?
Semoga kita semua selalu terjaga dalam kebaikan dan lindungan Allah :)
Saya menandai awal perjalanan saya di tahun 2009. Sebab pada saat itu saya sudah mulai beranjak dewasa, mulai berpikir sendiri atas sebuah pilihan dan konsekuensi.
Ramadhan 2009, sekolah kami SMPN 1 Grogol mengadakan kerja sama dengan Pondok Modern Darussalam Gontor. Sehingga kegiatan pondok ramadhan yang lazimnya diisi guru, maka tahun ini akan diisi oleh Ustadz dan Santri Gontor konsulat Kediri.
Pada saat itu kami sudah duduk di kelas 9, sebagai senior tentu saja kami lebih superior dibanding dedek-dedek gemash. Saya ingat banget guru bahasa inggris kami sampai berpesan, "Mereka masih seumuran kalian, jangan macem-macem ya." Ternyata kekhawatiran guru kami benar, kedatangan mereka membawa cerita di hidup kami, terutama hidup saya.
Memang kegiatan itu tidak lama, hanya 10 hari dan itupun ngajarnya berganti-ganti. Selain mengajar, mereka juga mengadakan penutupan berupa pentas seni. Di acara itu mereka mengajak serta sebagian dari kami untuk berpartisipasi. Saya dan satu orang adik kelas mengajukan diri untuk ikut dalam proyek musikalisasi puisi. Penanggung jawab puisi itu adalah seorang santri gontor kelas 5 (setara 2 SMA) yang kemudian saya panggil kakak.
Ke esokan harinya kami dikumpulkan lagi dan kakak bilang, "Puisi ini akan dibaca dua orang, saya dan satu orang lagi. Biar tingginya sama, jadi Ima saja ya."
Singkat cerita, kami terus bertemu setiap hari karena harus latihan bersama. Ya cerita terus berlanjut sampai akhirnya acara itu selesai. Sebagai orang yang tidak pernah merasakan menjadi seorang santri, cerita kehidupan di pesantren yang ia ceritakan begitu menarik hati saya.
Sampai suatu ketika saya bilang, "Kak aku pengen masuk Gontor aja habis ini". Kemudian saya diberikan saran tentang apa saja yang harus saya persiapkan buat masuk gontor. Waktu berjalan, saya dan dia lost contact karena di Pondok tidak boleh pegang HP.
Ternyata Allah berkehendak lain, saya tidak jadi mondok di Gontor dan melanjutkan di Smada Kediri. Apakah kemudian saya lupa dengan Gontor dan dia? tentu saja tidak. Dia masih menghubungi saya ketika liburan, meskipun kami tidak pernah bertemu lagi. Sementara Gontor juga tidak lenyap begitu saja, segala sesuatu tentang Gontor masih sangat menarik hati. Pun, saya memposisikan diri saya sebagai calon santri. Jadi meskipun Allah belum mengizinkan saya belajar di Gontor, tapi saya berazzam untuk tetap belajar agama.
Sampai bertemu di part 2, klik di sini :)
Semoga kita semua selalu terjaga dalam kebaikan dan lindungan Allah :)
Saya menandai awal perjalanan saya di tahun 2009. Sebab pada saat itu saya sudah mulai beranjak dewasa, mulai berpikir sendiri atas sebuah pilihan dan konsekuensi.
Ramadhan 2009, sekolah kami SMPN 1 Grogol mengadakan kerja sama dengan Pondok Modern Darussalam Gontor. Sehingga kegiatan pondok ramadhan yang lazimnya diisi guru, maka tahun ini akan diisi oleh Ustadz dan Santri Gontor konsulat Kediri.
Pada saat itu kami sudah duduk di kelas 9, sebagai senior tentu saja kami lebih superior dibanding dedek-dedek gemash. Saya ingat banget guru bahasa inggris kami sampai berpesan, "Mereka masih seumuran kalian, jangan macem-macem ya." Ternyata kekhawatiran guru kami benar, kedatangan mereka membawa cerita di hidup kami, terutama hidup saya.
Memang kegiatan itu tidak lama, hanya 10 hari dan itupun ngajarnya berganti-ganti. Selain mengajar, mereka juga mengadakan penutupan berupa pentas seni. Di acara itu mereka mengajak serta sebagian dari kami untuk berpartisipasi. Saya dan satu orang adik kelas mengajukan diri untuk ikut dalam proyek musikalisasi puisi. Penanggung jawab puisi itu adalah seorang santri gontor kelas 5 (setara 2 SMA) yang kemudian saya panggil kakak.
Ke esokan harinya kami dikumpulkan lagi dan kakak bilang, "Puisi ini akan dibaca dua orang, saya dan satu orang lagi. Biar tingginya sama, jadi Ima saja ya."
Singkat cerita, kami terus bertemu setiap hari karena harus latihan bersama. Ya cerita terus berlanjut sampai akhirnya acara itu selesai. Sebagai orang yang tidak pernah merasakan menjadi seorang santri, cerita kehidupan di pesantren yang ia ceritakan begitu menarik hati saya.
Sampai suatu ketika saya bilang, "Kak aku pengen masuk Gontor aja habis ini". Kemudian saya diberikan saran tentang apa saja yang harus saya persiapkan buat masuk gontor. Waktu berjalan, saya dan dia lost contact karena di Pondok tidak boleh pegang HP.
Ternyata Allah berkehendak lain, saya tidak jadi mondok di Gontor dan melanjutkan di Smada Kediri. Apakah kemudian saya lupa dengan Gontor dan dia? tentu saja tidak. Dia masih menghubungi saya ketika liburan, meskipun kami tidak pernah bertemu lagi. Sementara Gontor juga tidak lenyap begitu saja, segala sesuatu tentang Gontor masih sangat menarik hati. Pun, saya memposisikan diri saya sebagai calon santri. Jadi meskipun Allah belum mengizinkan saya belajar di Gontor, tapi saya berazzam untuk tetap belajar agama.
Sampai bertemu di part 2, klik di sini :)
0 comments:
Post a Comment