Sunday 1 September 2019

MY SPIRITUAL JOURNEY (Part 2) - Menata Hidup di Kediri

Assalamualaikum, apa kabar teman-teman?
Semoga kita semua selalu terjaga dalam kebaikan dan lindungan Allah :)

Cerita ini merupakan kelanjutan dari cerita sebelumnya yang bisa teman-teman baca di sini

Di part 2 ini saya bercerita tentang keputusan saya untuk pulang ke Kediri. Kemudian setelah kepulangan itu, Allah izinkan saya menjadi bagian dari Gontor. Pun Allah kirimkan seorang Gontorian untuk menemani saya di fase ini. Sepertinya Allah mengirimkan Beliau untuk melanjutkan tugas kakak. Iya, tugas kakak untuk mengenalkan gontor ke saya sudah selesai (Red: lost contact)

Dua hal itulah yang menjadi highlight pada fase ini, yang kemudian mendorong saya untuk memperbaiki diri menjadi Ima yang lebih syari.



Pada tahun 2013 saya melanjukan kuliah di salah satu universitas di Depok dan lulus pada tahun 2017. Menjelang masa kelulusan, hati saya seperti sudah tertinggal di Kediri. Seringkali saya nekat menempuh perjalanan belasan jam hanya untuk menikmati 2 malam di rumah. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk benar-benar meninggalkan Jabodetabek tepat sehari setelah wisuda. 

Sampai detik ini saya masih meyakini ini adalah keputusan terbesar yang saya ambil seumur 24 tahun. Pulang ke Kediri berarti saya harus siap berkompromi dengan segala ambisi dan siap memulai segala sesuatu sendiri. Banyak yang bertanya kenapa saya memutuskan pulang secepat ini. Tapi itu sama sekali tidak membuat saya memikirkan keputusan saya lagi.

Saat itu saya tidak bisa bertahan di Jakarta, ada "harga" mahal yang harus saya bayar jika memaksa terus bertahan. Saya tidak menemukan apa yang saya cari di sana. Di lain sisi, jauh sebelum ini, Allah mengirimkan seorang lelaki yang baik (menurut saya), baik dari segi agamanya maupun yang lain. Kesempatan tidak datang dua kali, saya memutuskan berhenti mencari. Perlahan-lahan muncul sebuah keyakinan untuk menjadikannya bagian dari masa depan. Siapakah dia? sebut saja Ustadz. 

Pada awal kepulangan saya, belum ada perubahan apapun. Sama sekali tidak ada yang berbeda dengan diri saya, kecuali sekarang sudah tidak di Jakarta. Semua mulai berbeda ketika saya mengantar adik saya untuk ke Gontor. Iya, Allah kabulkan doa saya 7 tahun lalu lewat adik saya. Dia yang akhirnya masuk Gontor, bukan saya. 

Saya di sana menemani dia mulai dari ngurus pendataran, ujian sampai akhirnya pengumuma. 10 hari tinggal di lingkungan pondok, bertemu dengan banyak orang dari berbagai daerah dan latar belakang. Ketika di sana, saya masih pakai kerudung paris dan bercelana kulot. Sampai adik saya bilang, "Kak, jangan pakai celana dong, kan mau masuk lingkungan Pondok".

Adik saya ini adalah orang pertama di keluarga kami yang masuk pesantren. Jadi bukan hanya dia yang serba meraba-raba, kamipun sekeluarganya hactic luar biasa saking gak taunya. 

Di sinilah Allah itu memang sudah merencakan sesuatu dengan sangat sempurna. ustadz saat itu masih tercatat sebagai mahasiswa pengabdian di Gontor Pusat. Sebagai orang terdekat saya, sedikit banyak diapun punya peran, setidaknya untuk memberi sedikit pencerahan. 

Singkat cerita, alhamdulillah adik saya lulus ujian masuk Gontor dan penempatan kampus 2. 

Pulang dari Gontor, perlahan-lahan hati saya mulai terbuka untuk memperbaiki diri. Saya berusaha untuk memantaskan diri lahir batin. Secara lahiriyah, saya mulai menggantikan jeans dengan kulot, hingga akhirnya benar-benar pakai gamis dan hijab syari kemana-mana.

Saya masih ingat sekali gamis pertama yang saya beli di ITC Depok. Sekitar bulan Agustus 2017 saya ada keperluan ke kampus, lalu saya mampir ITC Depok untuk membeli kulot bahan black out. Pencarian tak kunjung menghasilkan padahal saya udah menyusuri setiap bagian. Sampai akhirnya saya malah menemukan set gamis syari lengkap dengan jilbab syari yang dibandrol dengan harga cukup murah. Ya sudah sayapun memutuskan untuk beli 2 set gamis syari.

 Lalu secara batiniyah, saya mulai banyak belajar lagi ilmu agama. Khususnya yang berkaitan dengan kehidupan pernikahan, seperti menambah bacaan tentang ilmu parenting, ikut kajian pranikah, dll. 

Perilaku dan tutur kata saya juga jadi berbeda. Saya sangat jarang ngopi, malu aja masak udah pake hijab syari masih kluyuran. Postingan saya selalu bernuansa islami, bahkan kalau ada teman yang curhat akhirnya saya ceritain Nabi-nabi. 

Misal, ada temen nih yang cerita kalau dia naksir cowok tapi cowoknya cuek. Jawaban saya saat itu adalah, "bawa ke doa aja. Allah mampu membelah lautan untuk Musa, masa iya Allah gak bisa gerakkan hatinya satu orang untuk kamu."

Pokoknya super sekali, sampai Ibu saya takut kalau saya sudah kena cuci otak aliran radikal. Tapi ya tentu saja tidak, ini semua semata-mata karena saya ingin memperbaiki diri. 

Di samping menyesuaikan diri karena kami sudah mejadi keluarga Gontorian. Kehadiran Ustadzpun sangat memotivasi, karena saya jadi tidak merasa asing dan "sendiri". Dia tidak pernah menuntut apapun kepada saya, sebaliknya justru dia selalu mengapresiasi perubahan yang saya lakukan. Seneng aja ketika misalnya saya kasih lihat foto pertama saya bergamis dan dia bilang "kamu keren". Sesimpel itu, tapi itu sangat bermakna buat saya. Berubah itu mudah, istiqomah yang susah. Godaannya banyak sekali, tapi tentu Allah sudah tau iman saya masih lemah. Jadi Allah kirim dia untuk menguatkan, bahkan kadang hal-hal semacam itu muncul karena saya melihat statusnya yang berisi nasehat agama, amalan harian, kalam Allah, Hadits, dll. Semua itu sedikit banyak tentu memberikan insight dan mempengaruhi saya. 

Pada fase ini, saya seperti menjadi Ima yang benar-benar baru. Saya harus berjuang keras melawan diri saya sendiri, belajar merubah apapun yang dulu saya lazimi. Efeknya tentu saja saya sering konflik batin karena beberapa hal yang prinsipil sekali. 

Salah satu contohnya terjadi sekitar bulan September 2017, ketika saya mendapat panggilan dari bank BNI Syariah. Saat itu saya baru memperlajari masalah riba, inilah yang membuat saya sempat ragu. Setelah beberapa hari berusaha mencari lebih dalam, berbekal pengetahuan yang sangat terbatas, saya menyimpulkan bahwa bank syariah masih bisa dijadikan opsi. 

Akhirnya saya memilih menghadiri undangan rekrutmen tersebut ke Jogja. Tiba hari H, saya mengalami konflik batin selanjutnya karena dilema harus mengenakan pakaian seperti apa. Biasanya saya selalu memakai gamis dan khimar panjang, jelas saya tidak mungkin memakai itu pada acara ini. Sebagaimana rekrutmen lain, biasanya akan dianjurkan untuk memakai office look. Terlebih lagi ini adalah perbankan, dimana penampilan itu seringkali menjadi penilaian. 

Setelah lama mix and match di penginapan, sayapun memutuskan menggunakan kulot warna gelap, blazer dan kerudung segi 4 berbahan satin yang menutup dada. Menariknya, ada kejadian yang terjadi di luar logika saya pada rekrutmen ini. Sempat merenung sebentar, apakah ini suatu pertanda dari Allah? Akhirnya saya putuskan ini adalah rekrutmen perbankan pertama dan terakhir yang pernah saya ikuti. 

Saya terus memperbaiki diri sampai akhirnya tahunpun berganti. 2018, tahun dimana menjadi deadline yang saya berikan untuk ustadz memperjalas segalanya yang perlu diperjelas. 

Sampai bertemu di part 3, klik di sini :)




Share:

0 comments:

Post a Comment