Assalamualaikum, apa kabar teman-teman?
Semoga kita semua selalu terjaga dalam kebaikan dan lindungan Allah :)
Sebelum sampai ke tahap ini, banyak cerita kehidupan yang harus saya lalui sebelumnya. Semua berawal dari keputusan besar untuk meninggalkan hingar bingar Jakarta dan menata hidup di Kediri. Teman-teman yang belum membaca cerita lengkapnya bisa klik di sini
Seperti yang sudah saya sebutkan di cerita sebelumnya, saya masih terus melanjutkan memperbaiki diri. Bahkan, semangat itu semakin menjadi-jadi hingga melahirkan sebuah keinginan untuk belajar agama lebih dalam di pesantren. Mungkin ini saatnya mewujudkan mimpi yang sempat tertunda, menjadi santri.
Belum ada bayangan sama sekali, pun saya terus mencari mana yang pas. Bagaimanapun ada hal lain yang juga harus saya pertimbangkan. Jadi harus mencari titik tengah, dimana saya bisa nyantri tapi kewajiban saya juga jalan terus.
Saat itu saya melihat info dari media sosial kalau di Universitas Darussalam Gontor ada pesantren kilat. Biayanya 750 ribu untuk 2 minggu, kita boleh memilih mau ikut program apa, pilihannya: Tahfidz, bahasa arab, bahasa inggris, dll. Jadi sistemnya kurang lebih kayak Gontor, pagi sekolah (belajar di kelas) sesuai program yang kita pilih. Kemudian sorenya ngaji santai, ikut kajian di masjid dan buka bersama.
Bismillah, hal pertama kudu laporan ke Allah kalau saya pengen belajar di Gontor. Guru saya, Ustadz Yusuf Mansyur mengajari untuk Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. Jangan sampai kita terlalu percaya dengan kekuatan, kekayaan, kekuasaan, sampai melupakan Allah. Giliran ada masalah, baru nangis-nangis ke Allah. Sebisa mungkin jangan ya.
Saat itu, deadline perdaftaran kurang lebih 2 minggu lagi. Berarti saya masih punya cukup banyak waktu untuk riyadhoh. Secara bahasa Riyadhoh artinya melatih diri. Praktisnya Riyadhoh yang diajarkan guru saya adalah melakukan sejumlah amalan, seperti dzikir pagi petang, al waqiah pagi petang, shalawat minimal 100 perhari, dll. Semua harus dilakukan secara konsisten terus menerus dan disertai keyakinan bahwa hajat kita akan dikabulkan.
Amalan harian itu terus saya lakukan, bahkan ada waktu dimana saya kebut shalawat hingga 4400 dalam sehari. Ustadz mengatakan minimal 100 perhari, kalau bisa 1000 lebih bagus, tapi kalau butuh cepet banget coba 4400.
h-7 saya "ingetin" Allah lagi, ketika selesai sholat masih di atas sajadah dan lengkap dengan mukena, saya taruh handphone dengan gambar poster itu di layar. Lalu saya bilang, "Ya Allah, udah h-7 nih. Aku percaya gak ada yang gak mungkin".
Alhamdulillah, rezeki cukup lancar pas itu. Tapi cerita belum selesai di situ, karena setiap ada rezeki saya langsung nol kan lagi. Percaya konsep sedekah kan?. Ustadz Yusuf Mansyur selalu mengajarkan itu, jadi misal saya butuh 750ribu tapi baru ada duit 500ribu. Kalau mau dibayarkan juga uangkan masih kurang, jadi lebih baik nol kan dulu aja. Itu tidak sekali, tapi berkali-kali dengan nominal yang berbeda-beda tergantung berapa rezeki yang saya punya saat itu.
Mungkin kalian akan bertanya, "bukannya malah kurang lebih banyak?" Iya, secara hitungan matematis memang begitu. Tapi kita sedang "bertransaksi" dengan Allah, Ya Malikul Mulk. Matematika sedekah itu berbeda dengan matematika dagang. Kalau kita punya 10, disedekahkan 1 maka hasilnya bukan 9 tapi 19. Sebab, yang 1 itu akan dikalikan 10. Bahkan satu bisa digantikan dengan 700 kali lipat.
Tapi yang perlu saya tekankan di sini, rezeki dari Allah itu macam-macam bentuknya. Jadi balasan itu tidak hanya selalu bentuk perhitungan angka (uang). Bisa juga berupa kemudahan urusan, kesehatan, keselamatan, dll. Tidak ada yang namanya sedekah sia-sia, setiap kebaikan akan dibalas dengan kebaikan.
Begitu tiba h-3, saya ulang lagi untuk mengingatkan Allah. Sampai akhirnya hari terakhir pendaftaran dan uang saya belum terkumpul juga. Selesai shalat isya, di situ saya nangis sejadi-jadinya, sampai saya bilang, "Ya Allah niat saya kan baik, kenapa engkau tidak mengizinkan aku kesana."
Sampai akhirnya air mata sedikit mereda dan saya ambil hp, lalu duduk lagi diatas sajadah. Di sinilah yag bikin saya speechless, Allah punya rencana lain. Saya membuka hp dan seketika tangan saya memencet instagram, lalu postingan pertama yang muncul di beranda saya adalah postingan Ustadz Yusuf Mansyur tentang santri raudhah 2018.
"Kesempatan bagus, jangan sampai dilewatkan" kurang lebih begitu caption Ustadz Yusuf Mansur.
Seketika itu yang ada dipikiran saya, "Gak mungkin Ustadz Yusuf Mansur merekomendasikan majelis yang tidak baik". Baru saya baca pelan-pelan poster tersebut. Kemudian yang saya lakukan berikutnya mencari tau siapa Habib Novel, Dimana Ar Raudhah, dan apa program dari santri ramadhan raudhah.
Saya bukan santri, bukan pula orang yang aktif dalam organisasi keagamaan, jadi nama Habib Novel benar-benar asing. Tapi setelah saya cari-cari informasinya, akhirnya saya mantap untuk ngaji ke tempat Beliau saja.
Saat itu juga saya langsung izin orang tua. Sama seperti saya, orang tua bertanya siapa habib Novel. Lalu saya jelaskan kronologi semuanya, termasuk keinginan saya awalnya ke Gontor. Awalnya saya memang gak bercerita ke siapapun mengenai keinginan saya, ke orang tua ataupun ke dia. Saya berusaha menjaga niat, ke Gontor ya emang mau belajar, bukan karena ada dia di Gontor. Walaupun kampus Gontor Pusat dan Unida itu berbeda lokasi, tapi tetap saja saya menyadari lemahnya hati ini.
"Sekarang kamu mau tetep ke Gontor apa ke Solo? Kalau mau ke Gontor juga gak apa-apa, daftar sekarang ayah bayarin" kurang lebih begitu respon Ayah saya waktu itu
Akhirnya saya tetep memilih ke Solo, seketika saya langsung menghubungi Bah Edwin. Setelah memastikan kuotanya masih ada, barulah saya daftar. Selanjutnya saya tinggal berangkat ke Solo, kota yang sebenarnya tidak terlalu asing bagi saya.
Link part berikutnya klik di sini
Semoga kita semua selalu terjaga dalam kebaikan dan lindungan Allah :)
Sebelum sampai ke tahap ini, banyak cerita kehidupan yang harus saya lalui sebelumnya. Semua berawal dari keputusan besar untuk meninggalkan hingar bingar Jakarta dan menata hidup di Kediri. Teman-teman yang belum membaca cerita lengkapnya bisa klik di sini
Seperti yang sudah saya sebutkan di cerita sebelumnya, saya masih terus melanjutkan memperbaiki diri. Bahkan, semangat itu semakin menjadi-jadi hingga melahirkan sebuah keinginan untuk belajar agama lebih dalam di pesantren. Mungkin ini saatnya mewujudkan mimpi yang sempat tertunda, menjadi santri.
Belum ada bayangan sama sekali, pun saya terus mencari mana yang pas. Bagaimanapun ada hal lain yang juga harus saya pertimbangkan. Jadi harus mencari titik tengah, dimana saya bisa nyantri tapi kewajiban saya juga jalan terus.
Saat itu saya melihat info dari media sosial kalau di Universitas Darussalam Gontor ada pesantren kilat. Biayanya 750 ribu untuk 2 minggu, kita boleh memilih mau ikut program apa, pilihannya: Tahfidz, bahasa arab, bahasa inggris, dll. Jadi sistemnya kurang lebih kayak Gontor, pagi sekolah (belajar di kelas) sesuai program yang kita pilih. Kemudian sorenya ngaji santai, ikut kajian di masjid dan buka bersama.
Bismillah, hal pertama kudu laporan ke Allah kalau saya pengen belajar di Gontor. Guru saya, Ustadz Yusuf Mansyur mengajari untuk Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. Jangan sampai kita terlalu percaya dengan kekuatan, kekayaan, kekuasaan, sampai melupakan Allah. Giliran ada masalah, baru nangis-nangis ke Allah. Sebisa mungkin jangan ya.
Saat itu, deadline perdaftaran kurang lebih 2 minggu lagi. Berarti saya masih punya cukup banyak waktu untuk riyadhoh. Secara bahasa Riyadhoh artinya melatih diri. Praktisnya Riyadhoh yang diajarkan guru saya adalah melakukan sejumlah amalan, seperti dzikir pagi petang, al waqiah pagi petang, shalawat minimal 100 perhari, dll. Semua harus dilakukan secara konsisten terus menerus dan disertai keyakinan bahwa hajat kita akan dikabulkan.
Amalan harian itu terus saya lakukan, bahkan ada waktu dimana saya kebut shalawat hingga 4400 dalam sehari. Ustadz mengatakan minimal 100 perhari, kalau bisa 1000 lebih bagus, tapi kalau butuh cepet banget coba 4400.
h-7 saya "ingetin" Allah lagi, ketika selesai sholat masih di atas sajadah dan lengkap dengan mukena, saya taruh handphone dengan gambar poster itu di layar. Lalu saya bilang, "Ya Allah, udah h-7 nih. Aku percaya gak ada yang gak mungkin".
Alhamdulillah, rezeki cukup lancar pas itu. Tapi cerita belum selesai di situ, karena setiap ada rezeki saya langsung nol kan lagi. Percaya konsep sedekah kan?. Ustadz Yusuf Mansyur selalu mengajarkan itu, jadi misal saya butuh 750ribu tapi baru ada duit 500ribu. Kalau mau dibayarkan juga uangkan masih kurang, jadi lebih baik nol kan dulu aja. Itu tidak sekali, tapi berkali-kali dengan nominal yang berbeda-beda tergantung berapa rezeki yang saya punya saat itu.
Mungkin kalian akan bertanya, "bukannya malah kurang lebih banyak?" Iya, secara hitungan matematis memang begitu. Tapi kita sedang "bertransaksi" dengan Allah, Ya Malikul Mulk. Matematika sedekah itu berbeda dengan matematika dagang. Kalau kita punya 10, disedekahkan 1 maka hasilnya bukan 9 tapi 19. Sebab, yang 1 itu akan dikalikan 10. Bahkan satu bisa digantikan dengan 700 kali lipat.
Tapi yang perlu saya tekankan di sini, rezeki dari Allah itu macam-macam bentuknya. Jadi balasan itu tidak hanya selalu bentuk perhitungan angka (uang). Bisa juga berupa kemudahan urusan, kesehatan, keselamatan, dll. Tidak ada yang namanya sedekah sia-sia, setiap kebaikan akan dibalas dengan kebaikan.
Begitu tiba h-3, saya ulang lagi untuk mengingatkan Allah. Sampai akhirnya hari terakhir pendaftaran dan uang saya belum terkumpul juga. Selesai shalat isya, di situ saya nangis sejadi-jadinya, sampai saya bilang, "Ya Allah niat saya kan baik, kenapa engkau tidak mengizinkan aku kesana."
Sampai akhirnya air mata sedikit mereda dan saya ambil hp, lalu duduk lagi diatas sajadah. Di sinilah yag bikin saya speechless, Allah punya rencana lain. Saya membuka hp dan seketika tangan saya memencet instagram, lalu postingan pertama yang muncul di beranda saya adalah postingan Ustadz Yusuf Mansyur tentang santri raudhah 2018.
"Kesempatan bagus, jangan sampai dilewatkan" kurang lebih begitu caption Ustadz Yusuf Mansur.
Seketika itu yang ada dipikiran saya, "Gak mungkin Ustadz Yusuf Mansur merekomendasikan majelis yang tidak baik". Baru saya baca pelan-pelan poster tersebut. Kemudian yang saya lakukan berikutnya mencari tau siapa Habib Novel, Dimana Ar Raudhah, dan apa program dari santri ramadhan raudhah.
Saya bukan santri, bukan pula orang yang aktif dalam organisasi keagamaan, jadi nama Habib Novel benar-benar asing. Tapi setelah saya cari-cari informasinya, akhirnya saya mantap untuk ngaji ke tempat Beliau saja.
Saat itu juga saya langsung izin orang tua. Sama seperti saya, orang tua bertanya siapa habib Novel. Lalu saya jelaskan kronologi semuanya, termasuk keinginan saya awalnya ke Gontor. Awalnya saya memang gak bercerita ke siapapun mengenai keinginan saya, ke orang tua ataupun ke dia. Saya berusaha menjaga niat, ke Gontor ya emang mau belajar, bukan karena ada dia di Gontor. Walaupun kampus Gontor Pusat dan Unida itu berbeda lokasi, tapi tetap saja saya menyadari lemahnya hati ini.
"Sekarang kamu mau tetep ke Gontor apa ke Solo? Kalau mau ke Gontor juga gak apa-apa, daftar sekarang ayah bayarin" kurang lebih begitu respon Ayah saya waktu itu
Akhirnya saya tetep memilih ke Solo, seketika saya langsung menghubungi Bah Edwin. Setelah memastikan kuotanya masih ada, barulah saya daftar. Selanjutnya saya tinggal berangkat ke Solo, kota yang sebenarnya tidak terlalu asing bagi saya.
Link part berikutnya klik di sini
0 comments:
Post a Comment