Assalamualaikum, apa kabar teman-teman?
Semoga kita semua selalu terjaga dalam kebaikan dan lindungan Allah :)
Sebagai seorang awam, nama Habaib rasanya begitu asing di telinga. Jangankan Habib Novel, bahkan Habib Syech yang sangat terkenal dengan shalawatnya pun masih asing bagi saya. Lalu bagaimana hingga saya bisa mumutuskan untuk mengaji di tempat yang tidak saya kenali? ceritanya ada di part sebelumnya, teman-teman bisa klik di sini
Saya tidak pernah tau siapa Habib Novel sampai akhirnya Allah benar-benar izinkan saya duduk di majelis ar Raudhah.
Pada saat itu, H-1 ramadhan, saya berangkat sendiri dari Kediri menuju Solo. Ini adalah pertama kalinya saya menuju Solo naik bis sendiri. Tidak ada yag saya kabarin, termasuk kakak saya di Solo. Saya ke sana seperti "sembunyi-sembunyi", bukan karena saya tidak ingin ditemui, tapi saya takut Syaitan membelokkan niat. Biarkan saya tenang dan fokus menuntut ilmu.
Berbekal arahan dari relawan dan teman-teman, akhirnya saya sampai juga di Raudhah setelah naik bis, naik BST, dan naik Becak. Alhamdulillah.
Cerita di mulai ketika kita sedang di mushola menjelang sholat Ashar. Di Raudhah ini ada Ustadz yang sangat cinta shalawat thabibi qalby, jadi hampir setiap kesempatan Beliau selalu mengajak kita semua bershalawat. Dengan khas suara lembut nan mendayu-mendayu, Beliau memimpin shalawat yang diikuti oleh kami semua hingga akhirnya lantunan shalawat menggema di mushola.
Jika biasanya saya mendengar klakson mobil dan motor bersautan di kemacetan Margonda. Sekarang, yang terdengar adalah lanjutan shalawat. Saya memejamkan mata, membiarkan energi itu merasuk dalam jiwa. Seketika itu, air matapun menetes, Saya merasakan kedamaian yang luar biasa.
"Jika Ustadznya saja seperti ini, kira-kira Habibnya seperti apa" saya bergumam dalam hati.
Lalu tibalah saatnya kami bertemu Habib Novel. Dengan wajahnya yang berseri-seri, Habib Novel mengucapkan selama datang di Raudah. Beliau menyebut kami tamu-tamu Allah, karena Allah yang memilih kami dan melangkah kami sampai ke raudhah.
Air mata sayapun menetes ketika Habib Novel mengatakan bertapa beruntungnya kami yang Allah pilih untuk bisa ke majelis ini. Bagi ini saya menarik sekali, sebab saya sendiri bisa sampai ke majelis ini tentu bukan karena kebetulan. Tapi Allah arahkan, Allah pilihkan, hingga Allah izinkan.
Saya masih terus berusaha untuk menata hati, memantapkan hati memperbaiki diri. Namun di sisi lain, seringkali masih dihantui hal-hal duniawi. Nama besar almamater seringkali membuat orang punya ekspektasi sendiri. Lalu ketika pilihan saya berbeda, banyak orang yang kemudian bertanya-tanya dengan nada menghakimi, seolah saya orang paling bersalah di dunia. Kondisi seperti ini yang seringkali membuat kita mengalami tekanan batin sendiri. Kami baru saja melangkah, hati kami masih mudah goyah. Tolong jangan bertanya yang membuat semangat kami patah.
Semenjak memutuskan untuk memperbaiki diri, saya benar-benar rindu kehadiran seseorang yang mendukung sepenuhnya keputusan saya, yang bisa mengerti betapa seringkali saya dilema, yang bisa menenangkan ketika ada orang yang mempertanyakan keputusan saya.
Dengan kondisi jiwa dan pikiran yang "kemrungsung", air mata saya kembali pecah ketika apa yang selama ini ingin saya dengar akhirnya terucap oleh Habib Novel.
Jika saya tarik benang merah antara Ustadz Yusuf Mansur dan Habib Novel, Beliau berdua sama-sama memiliki tauhid yang luar biasa. Ini tentu saja pelajaran yang prinsipil sekali, tidak bisa hanya diterangkan tapi perlu dibuktikan. Sebab kadang kala ceritanya sedikit sulit diterima oleh logika manusia. Bagaimanapun kemampuan berpikir manusia sangat terbatas, jika dibandingkan dengan kekuasaannya Allah swt.
Tauhid ini yang mendasari hal-hal turunan, hingga hal teknis dalam kehidupan sehari-hari. Sebelum bertemu habib Novel, saya lebih dulu belajar dengan UYM mengenai sedekah dan "nol kan lagi aja". Pun dengan Habib Novel, Beliau mengajarkan kepada kami ilmu tekno tekno "habiskan habiskan".
Habib Novel bercerita jika ketika menjelang ramadhan itu saldo di rekeningnya hanya 7 juta. Padahal kalau kita mau hitung-hitungan matematis tentu saja angka itu jauh dari biaya yang dibutuhkan untuk menjamu santri ramadhan. Beliau ini orangnya anti mikir, jadi ya udah jalan aja biar Allah yang atur. "Kita punya Allah yang Maha Kaya" Kalimat yang selalu Habib katakan dengan yakin.
Selama kami di raudhah jamuan Habib sangat luar biasa. Makan kami terjamin, bahkan setiap hari pasti ada protein seperti telur, ayam, dan ikan. Bahkan sampai kebutuhan pribadi seperti odol juga diberikan secara gratis. Bahkan seringkali muncul kejadian tak terduga, seperti tiba-tiba beliau ingin membagikan hadiah.
Habib Novel adalah tipe orang yang paling anti mikir. Mungkin itu pula yang membuat beliau selalu berseri-seri seperti tanpa beban. Beliau selalu mengajarkan kepada kami untuk menjadikan Allah segala-galanya. Kami tidak hanya dibiasakan mendengar itu saja, namun kami diajak langsung mempraktekkan ilmu yakin itu.
Keesokan harinya, ketika kajian menjelang buka puasa, ternyata Allah benar-benar mengabulkan uang 15 juta itu menjadi rezeki ustadz Iis. Habib menjelaskan kalau setelah kajian itu ada salah satu santri yang mendatangi Habib dan menitipkan uang 5 juta untuk Ustadz Iis. Kemudian Malamnya juga ada yang memberikan pesan ke Habib bahwa sudah transfer sekian juta ke rekening Habib. Alhamdulillah, amplop coklat berisi uang 15 juta itu diserahkan kepada Ustadz Iis di depan kami semua.
Bagi saya hal seperti ini menjadi pengalaman sekaligus pelajaran berharga. Pertama, kami ikut senang ketika hajat Habib untuk menyenangkan orang qobul. Kedua, pengalaman seperti ini juga membuat keyakinan kami kepada Allah bertumbuh. Kami yakin Allah mendengar dan mengabulkan doa kami.
Beberapa hari berikutnya, Habib Novel mengajak kami untuk mempraktekkan ilmu yakin lagi. Kali ini lebih spektakuler karena yang diminta adalah mobil mazda CX-8. Sebenarnya Beliau sudah ada mobil, namun ingin ganti yang lebih nyaman untuk dibawa dakwah ke luar kota. Habib seringkali harus nyetir sendiri, padahal seringkali sehari jadwalnya bisa dua kali mengisi.
"Nanti sebelum tanggal 29 ramadhan, insyaAllah Mazda CX-8 sudah terparkir di depan Raudhah" Ucap Habib Novel dengan sangat yakin. Namun beberapa hari kemudian deadline itu diralat karena kelamaan. Akhirnya Habib minta Jumat mendatang mobilnya sudah terparkir di depan raudhah.
Beberapa hari kemudian, ba'da shalat ashar tiba-tiba kami disuruh keluar mushola. "Semuanya kumpul di depan mushola, mobil baru Habib sudah datang" seru salah seorang relawan.
Sejatinya ketika kita berkumpul dengan orang sholeh, yang kita pelajari tidak hanya materi dari buku dan kitab. Lebih dari itu, apa yang kita dengar dan lihat selama di sana adalah ilmu. Seperti yang saya rasakan di sana, saya belajar dari Habib Novel bagaimana memuliakan tamu. Sayapun belajar dari Kak Ita (istrinya Habib Novel) yang tidak mau dispesialkan bahkan di rumahnya sendiri. Hal-hal seperti itu rasanya lebih mengena, daripada sekadar membolak-balik kitab yang sebagian besar dari kitapun susah membacanya.
Alhamdulillah Hamdan Katsiran Tayyiban Mubarakan fiihi. Saya datang tanpa ekspektasi, hingga akhirnya pulang dengan penuh kesyukuran di hati. Sekarang saya baru mengerti kenapa Allah belokkan langkah kaki saya ke Raudhah. Hati yang selama ini gersang dan bingung mencari "tambatan hati", akhirnya kembali terisi. Berkahnya majelis dan orang shaleh, segala beban pikiran perlahan berguguran dan Allah gantikan dengan ketenangan. Mungkin masalah itu akan tetap ada, namun jalan pikiran dan cara menyikapinya yang berbeda.
Part ini membuat saya sadar bahwa waktu bukan lagi masalah cepat atau lambat, tapi yang terpenting adalah waktu yang tepat. Timingnya sangat pas antara deadline pendaftaran Gontor dan publikasi poster santri ramadhan raudhah. Kejadian ini membuat saya semakin percaya kalau tidak ada kebaikan yang sia-sia, semua kebaikan akan dibalas kebaikan juga. Ketika ada kebaikan yang tumbuh di hati seorang hamba, Allah akan selalu menyambutnya. Ketika saya berniat memperbaiki diri, Allah hadirkan seorang guru yang sesuai. Menuntut ilmu butuh chermistry dan kesamaan frekuensi, supaya kita bisa fokus menerima kebaikan dan bukan memperdebatkan perbedaan.
Link part berikutnya klik di sini
Semoga kita semua selalu terjaga dalam kebaikan dan lindungan Allah :)
Sebagai seorang awam, nama Habaib rasanya begitu asing di telinga. Jangankan Habib Novel, bahkan Habib Syech yang sangat terkenal dengan shalawatnya pun masih asing bagi saya. Lalu bagaimana hingga saya bisa mumutuskan untuk mengaji di tempat yang tidak saya kenali? ceritanya ada di part sebelumnya, teman-teman bisa klik di sini
Pada saat itu, H-1 ramadhan, saya berangkat sendiri dari Kediri menuju Solo. Ini adalah pertama kalinya saya menuju Solo naik bis sendiri. Tidak ada yag saya kabarin, termasuk kakak saya di Solo. Saya ke sana seperti "sembunyi-sembunyi", bukan karena saya tidak ingin ditemui, tapi saya takut Syaitan membelokkan niat. Biarkan saya tenang dan fokus menuntut ilmu.
Berbekal arahan dari relawan dan teman-teman, akhirnya saya sampai juga di Raudhah setelah naik bis, naik BST, dan naik Becak. Alhamdulillah.
Cerita di mulai ketika kita sedang di mushola menjelang sholat Ashar. Di Raudhah ini ada Ustadz yang sangat cinta shalawat thabibi qalby, jadi hampir setiap kesempatan Beliau selalu mengajak kita semua bershalawat. Dengan khas suara lembut nan mendayu-mendayu, Beliau memimpin shalawat yang diikuti oleh kami semua hingga akhirnya lantunan shalawat menggema di mushola.
Jika biasanya saya mendengar klakson mobil dan motor bersautan di kemacetan Margonda. Sekarang, yang terdengar adalah lanjutan shalawat. Saya memejamkan mata, membiarkan energi itu merasuk dalam jiwa. Seketika itu, air matapun menetes, Saya merasakan kedamaian yang luar biasa.
"Jika Ustadznya saja seperti ini, kira-kira Habibnya seperti apa" saya bergumam dalam hati.
Lalu tibalah saatnya kami bertemu Habib Novel. Dengan wajahnya yang berseri-seri, Habib Novel mengucapkan selama datang di Raudah. Beliau menyebut kami tamu-tamu Allah, karena Allah yang memilih kami dan melangkah kami sampai ke raudhah.
Air mata sayapun menetes ketika Habib Novel mengatakan bertapa beruntungnya kami yang Allah pilih untuk bisa ke majelis ini. Bagi ini saya menarik sekali, sebab saya sendiri bisa sampai ke majelis ini tentu bukan karena kebetulan. Tapi Allah arahkan, Allah pilihkan, hingga Allah izinkan.
Saya masih terus berusaha untuk menata hati, memantapkan hati memperbaiki diri. Namun di sisi lain, seringkali masih dihantui hal-hal duniawi. Nama besar almamater seringkali membuat orang punya ekspektasi sendiri. Lalu ketika pilihan saya berbeda, banyak orang yang kemudian bertanya-tanya dengan nada menghakimi, seolah saya orang paling bersalah di dunia. Kondisi seperti ini yang seringkali membuat kita mengalami tekanan batin sendiri. Kami baru saja melangkah, hati kami masih mudah goyah. Tolong jangan bertanya yang membuat semangat kami patah.
Semenjak memutuskan untuk memperbaiki diri, saya benar-benar rindu kehadiran seseorang yang mendukung sepenuhnya keputusan saya, yang bisa mengerti betapa seringkali saya dilema, yang bisa menenangkan ketika ada orang yang mempertanyakan keputusan saya.
Dengan kondisi jiwa dan pikiran yang "kemrungsung", air mata saya kembali pecah ketika apa yang selama ini ingin saya dengar akhirnya terucap oleh Habib Novel.
Tidak apa-apa kalau sekarang tidak punya pekerjaan, lebih baik tidak punya pekerjaan tapi bisa beribadah ke Allah. Sekarang di luar sana, banyak sekali karyawan yang tidak bisa menikmati ramadhan. Maka anda yang tidak jadi karyawan berarti sudah menjadi bos, walaupun nganggur. Lebih baik menjadi bos yang nganggur, daripada menjadi karyawan yang diperbudak. Habib Novel
Jika saya tarik benang merah antara Ustadz Yusuf Mansur dan Habib Novel, Beliau berdua sama-sama memiliki tauhid yang luar biasa. Ini tentu saja pelajaran yang prinsipil sekali, tidak bisa hanya diterangkan tapi perlu dibuktikan. Sebab kadang kala ceritanya sedikit sulit diterima oleh logika manusia. Bagaimanapun kemampuan berpikir manusia sangat terbatas, jika dibandingkan dengan kekuasaannya Allah swt.
Tauhid ini yang mendasari hal-hal turunan, hingga hal teknis dalam kehidupan sehari-hari. Sebelum bertemu habib Novel, saya lebih dulu belajar dengan UYM mengenai sedekah dan "nol kan lagi aja". Pun dengan Habib Novel, Beliau mengajarkan kepada kami ilmu tekno tekno "habiskan habiskan".
Habib Novel bercerita jika ketika menjelang ramadhan itu saldo di rekeningnya hanya 7 juta. Padahal kalau kita mau hitung-hitungan matematis tentu saja angka itu jauh dari biaya yang dibutuhkan untuk menjamu santri ramadhan. Beliau ini orangnya anti mikir, jadi ya udah jalan aja biar Allah yang atur. "Kita punya Allah yang Maha Kaya" Kalimat yang selalu Habib katakan dengan yakin.
Selama kami di raudhah jamuan Habib sangat luar biasa. Makan kami terjamin, bahkan setiap hari pasti ada protein seperti telur, ayam, dan ikan. Bahkan sampai kebutuhan pribadi seperti odol juga diberikan secara gratis. Bahkan seringkali muncul kejadian tak terduga, seperti tiba-tiba beliau ingin membagikan hadiah.
Ambilah rezeki dengan hati yang dermawan, harta akan mengikuti orang-orang yang seperti ini
Habib Novel adalah tipe orang yang paling anti mikir. Mungkin itu pula yang membuat beliau selalu berseri-seri seperti tanpa beban. Beliau selalu mengajarkan kepada kami untuk menjadikan Allah segala-galanya. Kami tidak hanya dibiasakan mendengar itu saja, namun kami diajak langsung mempraktekkan ilmu yakin itu.
Syaratnya hatimu percaya penuh kepada Tuhanmu. Kaalau hatimu percaya penuh pada Tuhanmu tidak ada yang mustahil. Kekuatan Allah itulah kekuatan yang hakiki, yang lain kekuatan lain nisbi, cuma dititipi, ditempeli.Pernah suatu ketika saat ceramah di Mushola, Habib mengatakan Beliau ingin memberikan hadiah uang 15 juta untuk Ustadz Iis. Kalau uangnya sudah ada dan tinggal ambil ya itu biasa sekali. Tapi luar biasanya, Habib mengajak kami mempraktekkan ilmu yakin. Uangnya yang mau dikasihkan belum ada, tapi Habib yakin besok sore ada uang 15 juta yang akan jadi rezekinya Ustadz Iis.
Keesokan harinya, ketika kajian menjelang buka puasa, ternyata Allah benar-benar mengabulkan uang 15 juta itu menjadi rezeki ustadz Iis. Habib menjelaskan kalau setelah kajian itu ada salah satu santri yang mendatangi Habib dan menitipkan uang 5 juta untuk Ustadz Iis. Kemudian Malamnya juga ada yang memberikan pesan ke Habib bahwa sudah transfer sekian juta ke rekening Habib. Alhamdulillah, amplop coklat berisi uang 15 juta itu diserahkan kepada Ustadz Iis di depan kami semua.
Bagi saya hal seperti ini menjadi pengalaman sekaligus pelajaran berharga. Pertama, kami ikut senang ketika hajat Habib untuk menyenangkan orang qobul. Kedua, pengalaman seperti ini juga membuat keyakinan kami kepada Allah bertumbuh. Kami yakin Allah mendengar dan mengabulkan doa kami.
Beberapa hari berikutnya, Habib Novel mengajak kami untuk mempraktekkan ilmu yakin lagi. Kali ini lebih spektakuler karena yang diminta adalah mobil mazda CX-8. Sebenarnya Beliau sudah ada mobil, namun ingin ganti yang lebih nyaman untuk dibawa dakwah ke luar kota. Habib seringkali harus nyetir sendiri, padahal seringkali sehari jadwalnya bisa dua kali mengisi.
"Nanti sebelum tanggal 29 ramadhan, insyaAllah Mazda CX-8 sudah terparkir di depan Raudhah" Ucap Habib Novel dengan sangat yakin. Namun beberapa hari kemudian deadline itu diralat karena kelamaan. Akhirnya Habib minta Jumat mendatang mobilnya sudah terparkir di depan raudhah.
Beberapa hari kemudian, ba'da shalat ashar tiba-tiba kami disuruh keluar mushola. "Semuanya kumpul di depan mushola, mobil baru Habib sudah datang" seru salah seorang relawan.
Cerita seorang teman di status what's appnya |
Habib Novel dan Santri Putri foto bersama mobil baru |
Saya pernah ditanya, "nyantri kok cuma sebulan, kamu dapat apa?". Ar Raudhah ini sebenarnya adalah majelis, bukan pondok pesantren. Kami datang dari berbagai latar belakang, termasuk berbagai profesi dan usia. Ada teman-teman yang baru lulus SMA tapi juga ada yang usianya setengah abad. Pun ada teman-teman yang datang dari pesantren, banyak pula yang awam seperti saya. Sehingga Ar Raudhah sudah diatur sedemikian rupa untuk mengakomodasi itu semua.
Sejatinya ketika kita berkumpul dengan orang sholeh, yang kita pelajari tidak hanya materi dari buku dan kitab. Lebih dari itu, apa yang kita dengar dan lihat selama di sana adalah ilmu. Seperti yang saya rasakan di sana, saya belajar dari Habib Novel bagaimana memuliakan tamu. Sayapun belajar dari Kak Ita (istrinya Habib Novel) yang tidak mau dispesialkan bahkan di rumahnya sendiri. Hal-hal seperti itu rasanya lebih mengena, daripada sekadar membolak-balik kitab yang sebagian besar dari kitapun susah membacanya.
Alhamdulillah Hamdan Katsiran Tayyiban Mubarakan fiihi. Saya datang tanpa ekspektasi, hingga akhirnya pulang dengan penuh kesyukuran di hati. Sekarang saya baru mengerti kenapa Allah belokkan langkah kaki saya ke Raudhah. Hati yang selama ini gersang dan bingung mencari "tambatan hati", akhirnya kembali terisi. Berkahnya majelis dan orang shaleh, segala beban pikiran perlahan berguguran dan Allah gantikan dengan ketenangan. Mungkin masalah itu akan tetap ada, namun jalan pikiran dan cara menyikapinya yang berbeda.
Part ini membuat saya sadar bahwa waktu bukan lagi masalah cepat atau lambat, tapi yang terpenting adalah waktu yang tepat. Timingnya sangat pas antara deadline pendaftaran Gontor dan publikasi poster santri ramadhan raudhah. Kejadian ini membuat saya semakin percaya kalau tidak ada kebaikan yang sia-sia, semua kebaikan akan dibalas kebaikan juga. Ketika ada kebaikan yang tumbuh di hati seorang hamba, Allah akan selalu menyambutnya. Ketika saya berniat memperbaiki diri, Allah hadirkan seorang guru yang sesuai. Menuntut ilmu butuh chermistry dan kesamaan frekuensi, supaya kita bisa fokus menerima kebaikan dan bukan memperdebatkan perbedaan.
Link part berikutnya klik di sini
0 comments:
Post a Comment