Saya lahir di kota dimana sebagian besar perekonomian ditunjang oleh sebuah perusahaan rokok berskala internasional. Data tahun 2011 menunjukkan bahwa pendapatan daerah di sektor cukai sebesar 90% lebih disumbang oleh gudang garam. Kemudian dengan target marketnya sebesar 67,5% laki-laki dewasa di Indonesia adalah perokok dari total sekitar 240juta orang penduduk Indonesia, gudang garam dalam produksinya melibatkan 43 ribu orang karyawan. Sehingga bisa dibayangkan betapa jayanya gudang garam sehingga sekian ribu orang itu ekonominya bergantung padanya.
Perusahaan sebesar itu rasanya cukup menyilaukan mata untuk orang-orang yang tertarik meniti karir di perusahaan swasta. Begitupun dengan saya, bagaimana tidak sangat menarik ketika saya membayangkan menjadi professional Public Relation di gudang garam dengan pasar yang sebesar itu dan komunitas yang ada di wilayah saya sendiri. Mungkin memang berat menjadi menjadi PR perusahaan sebesar itu, terlebih lagi produk ditangani adalah rokok, barang yang kadang sering diperdebatkan oleh banyak karena efeknya. Regulasi tentang rokok di Indonesiapun semakin lama juga semakin diperketat, termasuk peraturan marketingnya dalam ranah periklanan. Tapi kalau dilihat prospek ke depannya, sepertinya berkarir di gudang garam cukup menjanjikan. Seperti yang kita tahu bahwa gudang garam standar gajinya juga lumayan baik. Selain faktor gaji, dari faktor market yang sampai luar negeri juga cukup menarik untuk soerang PR. Ya setidaknya sesekali PR pasti akan diajak ketemu klien di luar negeri lah yaa. :)
Disinilah poin utama yang sebenarnya ingin saya bahas, kejayaan gudang garam telah memikat saya untuk ingin berkarir disana. Tetapi hati kecil saya semalam sempat terusik ketika melihat sebuah video tentang fenomena rokok di indonesia, ini link nya ( https://www.youtube.com/watch?v=mgk1MIHSnT4&feature=share ). Mengerikan sekali ketika ada bayi berusia 2 tahun sudah lihai menghisap batang rokok, mengerikan sekali ketika anak-anak yang masih berseragam sekolah justru menghabiskan waktu mereka dengan merokok bersama, banyak fakta yang membuat saya miris sekali. Meskipun saya cukup toleran dengan perokok tapi itu tidak berlaku untuk (calon) Ayah dari anak-anak saya nanti. Saya bersyukur mempunyai Ayah bukan perokok, oleh karena itu saya juga pengen anak-anak saya nanti bisa nyaman di rumah tanpa asap rokok.
Saya ingin bekerja di pabrik rokok, sementara dilain sisi saya miris melihat orang merokok dan juga sangat tidak mau orang yang saya cintai merokok. Entah ini sebenarnya masalah atau tidak tapi yang jelas cukup mengganjal di hati kecil saya ketika nanti hidup saya akan ditopang oleh bisnis rokok padahal saya juga tidak sepenuhnya sepakat dengan penggunaan rokok. Berat saja ketika saya harus menerima gaji atas penjualan barang yang justru merusak diri orang lain. Saya masih akan terus mempertimbangkan itu bersama Tuhan dan orang-orang terdekat saya sampai saatnya saya harus memilih. :)
Btw, suka deh lihat gambar itu. gambar itu saya ambil dari google dengan keywod proffesional public relation. Do get the poin? yaa i mean gambar ini sepertinya benar-benar mewakili atas apa yang diceritakan orang tentang seorang PR yang kerjaannya bukan cuma dandan cakep terus duduk-duduk terima telepon.
poin'x lebih di tekankan lagi mbak,, hehe
ReplyDeleteOke mas @taufiq , makasih banyak ya sudah membaca dan kasih saran :D
Delete