Sumber: Dokumentasi Pribadi |
Jogja, ibarat sebuah jendela bagi rumah yang bernama Indonesia. Layaknya sebuah jendela, memang tidak bisa memperlihatkan semua yang di dalamnya. Namun, dari yang terlihat melalui jendela sudah bisa mencerminkan bagaimana keseluruhan isinya. Tidak perlu masuk ke setiap ruangan yang ada, cukup tengok saja dari balik jendela maka kita sudah bisa menyimpulkan walau mungkin hanya satu kata. Jika indonesia terlalu luas, coba singgah dulu ke Jogja. Setiap sudut kota ini bisa menjadi cerminan panorama Indonesia yang sesungguhnya. Itulah mengapa, melihat Jogja ibarat menilik Indonesia dari jendela, sehingga tidak berlebihan ungkapan "menjadi Jogja menjadi Indonesia".
Bhineka Tunggal Ika, itulah semboyan bangsa Indonesia, yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Begitupun Jogja, perbedaan itu begitu terasa disana. Dinobatkannya bandara adi sucipto menjadi salah satu bandara tersibuk di Indonesia, menjadi bukti bahwa Jogja sangat terbuka untuk pendatang. Hilir mudik orang dengan latar belakang berbeda-beda tiada henti setiap harinya. Tapi Jogja tetaplah Jogja, tidak serta merta hilang jati dirinya tergerus budaya turis manca negara ataupun mahasiswa yang terus memadatinya. Namun sebaliknya, semua perbedaan itu justru menyatu dalam harmoni dengan semboyan yang diamini bersama, "Jogja Istimewa".
Ketika sedang berjalan menikmati suguhan budaya dan wisata Jogja, mungkin Malioboro ataupun wisata lainnya, coba sesekali perhatikan betapa berwarnanya pengunjung disana. Dari bahasa, karakter, warna kulit bahkan busananya, rasanya semua sewarna-warni batik di pasar beringharjo. Hal itu menunjukkan bahwa Jogja begitu terbuka untuk semua golongan. Kalau contoh itu terlalu sederhana, cobalah beranjak dari kota dan pergi ke Gunung Kidul, hidden paradise of Java. Sembari menikmati panorama pantai yang begitu memanjakan mata, kita bisa melihat nilai toleransi yang luar biasa di pantai ngobaran. Adanya pura yang bersanding dengan sebuah mushola, menjadi bukti nyata bahwa toleransi sudah membudaya di Jogja sejak dulu dan terus terjaga.
Budaya jawa begitu terasa di Jogja. Tidak hanya tercermin pada papan nama jalan yang menggunakan aksara jawa. Lebih dari itu, karakter ramah, sopan dan santun telah melekat dengan karakter orang-orang Jogja. Menjadi sebuah nilai yang agung ketika karakter itu terus bertahan, sekalipun gemerlap pembangunan industri pariwisata modern terus berjalan. Sesekali belajarlah menyatu dengan warga lokal, di pasar tradisional misalnya. Sehingga oleh-oleh kita bukan hanya bakpia, namun juga membawa pulang nilai-nilai yang njogjani.
Bagiku, begitu menenangkan melihat senyum sumringah dibalik kehidupan yang nampak begitu sederhana. Guyub dan rukun, itulah kesan yang akan kita dapati melihat bagaimana mereka berinteraksi dan bertegur sapa. Bagaimana mungkin orang tidak betah, bahkan Jogja terlampau nyaman untuk disebut sebagai tempat singgah. Pantas saja, banyak mahasiswa yang awalnya hanya ingin kuliah tapi justru memilih menetap, menikah dengan orang lokal lalu dengan bangga memperkenalkan dirinya sebagai orang Jogja.
Keistimewaan Yogyakarta tidak hanya tercermin dari budayanya yang masih kental dalam segala lini, namun Jogja juga sangat istimewa jika ditilik dari sejarah bangsa. Jogja menjadi bagian penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, salah satunya dengan dipilihnya Jogja menjadi Ibu Kota. Menyusuri jalanan Jogja seperti menyibak kembali perjuangan bangsa, monumen Jogja kembali, benteng vredeburg, monumen serangan umum 1 maret dan tempat-tempat bersejarah lainnya. Bahkan siapa sangka hotel inna garuda juga menjadi bagian dalam sejarah kemerdekaan, sebab sempat dialih fungsikan menjadi komplek pemerintahan sementara. Jogja telah menjadi bagian dari sejarah, sehingga sudah sepantasnya jika jiwa nasionalisme itu juga selalu tercurah selamanya. Turun temurun menjadi indentitas orang-orang Jogja, bersanding dengan ramah dan berbudaya.
Kini, 72 tahun sudah kemerdekaan Indonesia. Tetapi bukan berarti perjuangan selesai, sebab perpecahan tak ubahnya menjadi momok bangsa yang majemuk ini. Sehingga inilah saatnya, Jogja hadir kembali menjadi "penyelamat" bangsa, memberikan sirkulasi dan angin segar layaknya sebuah Jendela, menunjukkan eksistensi Jogja yang istimewa. Tidak perlu mengakat senjata seperti dahulu kala, namun cukup dengan menjaga dan menularkan budaya Jogja. Sebab, menjadi Jogja adalah menjadi Indonesia.
"Sudah semestinya Keistimewaan Jogja adalah untuk Indonesia. Bahwa menjadi Jogja, adalah menjadi Indonesia" Sri Sultan HB X
Indah sekali jika bangsa ini bisa tenang berdampingan dalam perbedaan, selayaknya pura dan mushola di pantai ngobaran. Jika keramahan, guyub, rukun, gotong royong terus menjadi karakter diri, mungkin berjalan di negeri ini akan senyaman berjalan di malioboro sembari menikmati melodi dari para musisi. Terlebih lagi jika semua itu dibarengi pula dengan jiwa nasionalisme yang tinggi, itukah kemerdekaan yang hakiki?. Aku cinta Jogja dan aku cinta Indonesia.
0 comments:
Post a Comment