Wednesday, 20 April 2016

Jogja istimewa



Minggu lalu saya ke Jogja, sejenak. Seperti biasanya hanya seperti singgah, membangkitkan kembali kenangan yang tak kunjung terlupakan. Biasanya saya sampai Jogja pagi, sebelum matahari meninggi. Tapi kemarin karena jumat ada jadwal ujian jadi saya baru berangkat sabtu pagi dan sampai sana sore. Mungkin ada yang bertanya kenapa harus ke Jogja lagi? Saya sebenarnya juga tidak tahu alasan pasti, tapi yang jelas ada sisi emosional yang membuat Jogja memiliki ruang di pikiran (mungkin juga hati). Bukan karena ada siapa dan ada apa, tidak. Tapi saya suka Jogjanya itu sendiri, terutama suasana dan budayanya.

Saya tipe orang yang mendefinisikan kedamaian adalah ketenangan, artinya saya butuh ruang yang memang sangat tenang untuk mendapatkan kedamaian itu, Bagiku Jogja punya itu, saya bisa berjalan di sepanjang malioboro tanpa terganggu dengan cat calling (Istilah pelecehan secara verbal di jalan; digodain atau disuitin).  Selain itu Jogja bisa mengakomodir kebutuhan saya, budaya Jogja berpadu antara budaya modern dengan tradisional. Saya seneng aja ketika saya berjalan di Jogja, mereka sadar bahwa mereka tinggal di daerah wisata dan yang mereka hadapi turis. Istilahnya sebagai tuan rumah mereka seperti meyambut dengan senang hati. Ini yang saya cari, saya coba untuk tahu lebih banyak tentang Jogja lewat mereka.


Semakin kesini saya semakin jatuh cinta dengan Jogja, bagaimana saya menemukan kenyamanan ketika berada di Jogja. Memang saya belum mengenal Jogja sepenuhnya, tapi saya yakin Jogja masih istimewa sebagaimana lagu itu. Saya baru mulai untuk mengenal sosial budayanya, belum politik dan isu-isu lainnya. Karena saya tidak mungkin juga ngobrol soal kebijakan dengan ibu-ibu dipasar, tukang becak atau pedagang-pedagang di Malioboro kan? ;). Kalau ada kesempatan dan menemukan orang yang tepat pasti saya ngobrol lebih banyak soal itu semua.

Oh ya, saya juga asli orang jawa, lahir dan besar di Jawa. Hanya untuk kuliah ini saja pindah ke Depok. Mungkin ada yang berpikir, "Asli orang Jawa tapi lihat Jogja kok segitu tertariknya. Beda kalau misal orang Jakarta terus baru ke Jogja, itu wajar". Ya seperti yang saya bilang, saya senang dengan budaya Jogja dimana tradisional dan modern bisa melebur. Satu sisi saya suka banget dengan budaya orang desa yang guyub, kolektivis, ramah, dll. Tapi satu sisi saya hidup di jaman dimana slogan, "Mangan ra mangan sing penting kumpul" sudah tidak berlaku. Saya harus mengikuti perkembangan zaman untuk menjadi professional. Jogja aksesnya cukup mudah bisa ditempuh semua jalur, banyak institusi pendidikan sampai level tinggi, industrinya cukup berkembang banyak hotel-hotel internasional group ada disana, selain itu punya banyak tempat wisata ya saya gak pengen aja anak-anak saya kurang piknik. haha. Beda kalau di Kediri, aksesnya hanya bisa jalur darat, belum banyak industri/perusahaan skala besar, jauh banget sama tempat wisata kalau mau harus ke luar Kota. Kayak orang tua saya libur kerja pas hari minggu aja, jadi kebanyakan waktu libur ya untuk istirahat daripada pergi-pergi. Ya saya bayangin sebagai profesional saya juga tidak akan punya banyak waktu untuk keluarga, tapi disisi lain bagaimanapun quality time dengan keluarga itu penting. Makanya kalau di Jogja banyak pilihan, tidak melulu harus ke mall. Kita bisa sabtu malam sekedar makan malam bersama di cafe atau resto yang banyak sekali pilihannya disana. Mungkin juga bisa sekedar menghabiskan weekend kita ke pantai yang jaraknya mungkin tidak sejauh rumah saya ke Trenggalek. Tidak perlu mahal, yang penting kita menikmati kebersamaan dan nyaman. Kita bisa saling berbagi banyak cerita membayar semua waktu yang tersita untuk kerja. Lagipula Kediri Jogja itu kan gak jauh, kita bisa naik kereta yang hanya 3 jam.
 



Share:

0 comments:

Post a Comment