Sunday, 15 September 2019

MY SPIRITUAL JOURNEY (Part 7) - Dia dan Doa

Assalamualaikum, apa kabar teman-teman?
Semoga kita selalu bahagia dan terjaga fi thoatillah :)

Sekembalinya dari Haul Solo, ada cerita menarik yang tidak saya sangka. Mungkin ini adalah pertanda bahwa Haul Habib Ali di Solo memang benar-benar istimewa. Salah satunya, banyak orang yang bercerita Allah kabulkan doa mereka. Tidak ada keraguan sedikitpun dalam hati untuk percaya bahwa cerita itu nyata. Terlebih ketika saya merasa Allah dengar apa yang saya minta. Ketika haul berlangsung, dengan kondisinya yang sedemikian rupa, saya reflek berdoa. Cerita lengkap mengenai kondisi saat haul ada di part sebelumnya. Jika teman-teman belum membacanya, silakan klik di sini.

Sebagai seorang insan yang bergama, saya percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini adalah kehendak Allah ta'ala. Tidak ada yang namanya kebetulan, semua adalah rencanaNya. Terlepas dari bagaimana rencana Allah sesungguhnya, tapi sudah selayaknya kita sebagai manusia senantiasa berbaik sangka.

Awal januari 2019, ada nomor baru yang berkirim pesan lewat wa. Sepertinya akan kurang sopan kalau saya langsung tanya ini siapa. Jadi saya coba lihat profilnya untuk mengenali, namun sepertinya kami belum pernah berjumpa. Tapi kalau dilihat stylenya mungkin ini teman majelis yang biasa saling menyapa. Apalagi fotonya berdua dan saya merasa familiar dengan orang yang di sampingnya. Akhirnya saya beranikan tanya, "Maaf ini siapa?" dan dijawablah dengan menyebut nama.

Saya coba lihat lagi, apakah ada grup yang sama. Kalau benar ini santri raudhah juga, harusnya kami berada dalam beberapa grup yang sama. Ternyata satu-satunya grup yang sama adalah grup angkatan sekolah zaman dulu kala. Oh oke, berarti kami adalah teman lama. Sebagai panitia reuni, saya merasa masih punya tanggung jawab moral untuk silaturahmi dengan teman-teman semua. Makanya saya minta maaf ke dia karena belum menyimpan nomornya.

Alih-alih bertanya tentang pribadinya, saya justru lebih penasaran dengan orang yang ada di sampingnya. Ketika dia berkata "Putranya Habib Syech", seketika saya mulai "curiga" sepertinya ada "sesuatu" dibalik kedatangannya. Dia bertanya selayaknya teman lama yang tidak pernah berjumpa, tapi tidak dengan saya. Entah dia merasa atau tidak, saya lebih penasaran cari tahu apakah dia kenal majelis juga. Semakin lama jawabannya membuat saya makin curiga, hingga sampailah ke pertanyaan utama.

 "Kamu datang haul Solo kemarin?".

"Alhamdulillah" Jawabnya

Jawaban dari pertanyaan ini ibarat sebuah kunci gembok, jika tepat maka gerbang itu akan terbuka. Sebenarnya pintu pertemanan saya selalu terbuka, tapi menjadi lain ceritanya ketika orang yang datang seolah berkaitan dengan peristiwa sebelumnya. Seperti apa yang saya tulis di cerita sebelumnya, ketika haul saya sempat berdoa supaya Allah mengirimkan seseorang yang juga kenal Habaib, supaya saya tidak sendiri kalau datang haul lagi. Bukan karena saya tidak berani, tapi lebih kepada naluri untuk merasa aman dalam sebuah situasi.


Percakapan saya dengan seorang teman

Terlepas dari bagaimana cerita selanjutnya, tapi yang jelas kedatangannya ini sudah menjadi cerita yang istimewa. Meskipun kami teman lama, tapi saya dan dia tidak pernah mengenal sama sekali sebelumnya. Lalu, tiba-tiba dia hadir dalam hidup saya dikala saya baru saja berdoa. Telebih jarak dari 30 Desember ke Januari itu tidak lama. Meskipun belakangan hadir orang yang juga punya jawaban sama atas pertanyaan saya, tapi kesannya menjadi berbeda ketika mereka hadir kedua, ketiga, dan seterusnya. 

Memang bukan kapasitas saya untuk memastikan dialah orangnya, namun saya juga tidak percaya kalau ini kebetulan saja. Entah benar sebagai jawaban atas doa atau untuk rencana lainnya, yang jelas tidak mungkin Allah mendatangkan dia hanya untuk bercanda. Jalan ceritanya terlampau istimewa.

Campur tangan Allah yang begitu terasa membuat saya merasa tidak pantas untuk menilai dia sebagai dia. Terkadang sesuatu itu menjadi sangat berkesan bukan karena nilainya, namun siapa yang memberinya. Jika bukan karena Allah yang mengatur, bagaimana mungkin dua orang yang tidak saling mengenal bisa berjumpa dengan jalan cerita yang sedemikian rupa?. Allah yang datangkan, pun Allah yang atur waktunya, segalanya sudah tertulis dalam rencanaNya.

Habib Novel pernah berpesan "Kalau kalian menghormati saya jangan lihat sayanya, karena saya juga masih banyak kurangnya. Tapi lihatlah Kakek saya (Nabi Muhammad saw), niatkanlah menyenangkan Beliau. Kita sendiri juga pasti senang kalau ada orang yang sayang sama cucu kita".
Bagi saya, pesan Habib tersebut bisa berlaku untuk apa saja. Misalnya cerita ini, saya respect ke dia bukan karena apa yang ada pada dirinya, tapi karena siapa yang menghadirkannya di hidup saya. Kalau saya hanya melihat dia dari kaca mata manusia, jelas banyak sekali cela sebagaimana sayapun jauh dari kata sempurna. Setiap orang punya cara untuk menilai, pun setiap orang punya poin yang dianggapnya sebagai prioritas utama. Bagi saya, selagi hal-hal prinsipil itu sama, akan mudah untuk toleransi jika ada hal turunan yang berbeda.

Paket standar minimal yang didapat jika datang majelis ilmu adalah ampunan. Sedangkan paling besar adalah kenal Allah swt. Kalau sudah kenal Allah maka Allah akan mengenalkan dengan orang-orang yang dicintai Allah. Akan dikenalkan dengan makhluk-makhluk yang mencintai dan dicintai Allah swt. Makanya orang yang kenal Allah, dia akan kenal kekasih-kekasih Allah dan orang-orang baik dalam pandangan Allah. - Habib Novel Alaydrus
Pesan Habib Novel tersebut membuat saya percaya bahwa dia adalah orang baik, meskipun sayapun belum mengenal dia seutuhnya. Allah langkahkan saya ke Raudhah, lalu Allah hadirkan saya ke Haul bersama ribuan orang yang mengagungkan nama Allah. Tidak lama setelahnya, Allah pertemukan saya dengan dia. Sepatutnya berbaik sangka, boleh jadi dia adalah orang baik dalam pandangan Allah. Jangankan dia, bahkan orang yang sudah membuat saya menitikan air matapun juga tetap baik di mata saya. Bukan karena masih ada rasa, tapi bagaimanapun juga dia adalah orang yang dipilih Allah untuk menjadi bagian dari perjalanan spiritual saya.

Ibarat penjual minyak wangi dan pandai besi, teman yang baik akan bisa memberikan kita minyak wangi. Kalaupun tidak, kita tetap bisa mendapatkan bau wanginya. Kalau dia orang baik, tentu sudah seyogyanya saya menjaga dia dalam inner circle. Entah ilmu atau pengetahuan, tapi sedikit banyak pasti ada kebaikan yang dia berikan. Misalnya sesederhana mengingatkan kebaikan melalui setatusnya. Kalau suatu saat kamu membaca, saya pengen bilang "Terima kasih ya, semoga kamu istiqomah".

Semoga keputusan saya menulis ini bukanlah kesalahan. Awalnya saya urung menceritakan, sebab takut merusak jalan cerita yang Allah skenariokan. Bahkan untuk bercerita ke orang yang saya percayapun harus dengan penegasan. Biarlah saya simpan sampai suatu saat akan menjadi kejutan. Tapi setelah saya pertimbangkan, sekarang adalah waktunya cerita ini terpublikasikan. Kalau saya tidak menulis bagian ini di my spiritual journey, tentu ceritanya tidak akan sempurna terangkai. Skenario Allah sudah terlampau sempuna, kenapa harus dikurangi dan ditambahi?

Entah bagaimana cerita selanjutnya, yang terjadi-terjadilah. Tapi yang jelas bagian ini memberikan pelajaran berharga, jangan takut berdoa. Janji Allah itu pasti, ud'uni astajib lakum (Berdoalah kamu kepada-Ku, pasti Aku akan mengabulkannya). Pun, Allah sebenarnya malu ketika ada hambaNya yang berdoa tapi Allah menolaknya dengan tangan hampa.

Sumber: fatimahsyarha.com









Share:

Saturday, 14 September 2019

MY SPIRITUAL JOURNEY (Part 6) - Haul: Doa Makbul

Assalamualaikum, apa kabar teman-teman?
Semoga sehat dan panjang umur fi thoatillah :)

Allah selalu punya cara untuk membuka hati hambanya, hidayah itu bisa datang dari mana saja. Termasuk lewat ujian yang Allah turunkan, sehingga kita kembali ke Allah memohon pertolongan. Pun sebelum sampai ke tahap ini, Allah datangkan badai di kehidupan yang sudah saya tulis di sini.

Syukuran Pelunasan Tanah Majelis Ar Raudhah

Alhamdulillah badai berlalu, saya mulai bergerak maju meninggalkan masa lalu. Berpisah dengan pilu dan siap menyambut kebahagiaan baru. Sebenarnya setelah seminggu pertama, keadaan saya sudah jauh lebih baik. Terlebih lagi ketika kami akhirnya duduk bersama, saya coba memahami posisinya. Tidak susah untuk menerima penjelesannya, saya lepas dia dengan ucapan selamat dan doa. Saya anggap urusan kita selasai, namun kita tetap teman.

Di masa-masa recovery, tumpuan saya hanya Allah. Rasanya tidak ada hari tanpa mendengarkan guru-guru yang nasehatnya bisa memotivasi. Setiap orang punya cara sendiri untuk bangkit lagi, bagi saya cara terbaik adalah mengikuti kata ulama. Sebab saya percaya bahwa mereka adalah orang-orang yang hatinya terjaga. Berbeda dengan kita, yang masih terlampau banyak dosa, akhirnya masih mudah tersulut emosi seketika.

Selagi saya masih rapuh, saya belum berani pergi jauh. Walaupun gregetnya beda, namun setidaknya live streaming bisa mengobati rindu pada majelis. Alhamdulillah Habib Novel juga sering live instagram ketika sedang tausiyah, jadi selalu ada obat untuk hati yang gelisah. Ada dua hal paling saya tunggu-tunggu dari habib Novel yaitu prinsip moh mikir (gak mau mikir) dan ilmu yakin. Pikiran yang spanen (tegang) akhirnya jadi tenang karena yakin ada Allah. Ada satu lagi tips dari Habib yang juga saya pegang.

Semua masalah solusinya adalah sajadah - Habib Novel
Sekitar pertengahan bulan Desember, akhirnya Allah izinkan saya ke majelis. Sebenarnya gak ada rencana ke sana, karena saya sedang sibuk wira-wiri ke Jogja dan Jakarta. Ketika itu majelis Ar Raudhah sedang punya hajat untuk perluasan majelis dan alhamdulillah lunas bulan Desember. Suatu sore tiba-tiba ada notifikasi what's app dari salah satu relawan di grup santri kami.

"Mbak-mbak, adakah yang bisa gabung ke tim masaknya Raudhah? Butuh tambahan orang buat syukuran jumat ini sama persiapan haul".

Saya benar-benar ikut senang ketika tanah majelis lunas, entah kenapa saya ingin sekali ikut syukuran. Singkat cerita sayapun sayapun berangkat ke Solo dan ikut syukuran bersama keluarga besar majelis ar raudhah saat kajian jumat malam.

Di sana, saya sempat cerita-cerita dengan Bu Lurah (Relawan yang biasa ngurusin santri). Sebagai seorang yang sangat awam, saya sama sekali tidak tau apa itu Haul Solo. Beliau bercerita tentang pengalamannya pertama kali datang haul Solo. Ribuan orang berkumpul, mengagungkan nama Allah swt dan Nabi Muhammad saw. Beliau menyarankan kalau bisa usahakan datang, biar bisa merasakan suasana yang demikian syahdu.

Saya niatkan hadir meskipun saya belum tau bisa hadir atau tidak. Sebab bulan-bulan itu saya harus menunggu dua pengumuman dari perjuangan panjang berbulan-bulan. Pada waktu yang hampir bersamaan, saya mengikuti seleksi cpns di salah satu kementerian dan seleksi pegawai baru di salah satu BUMN transportasi. Dua-duanya sudah saya ikuti hingga MCU, jadi tinggal menunggu pengumuman terakhir yang diperkirakan keluar bulan Desember.

Pengumuman BUMN keluar dan saya dinyatakan belum bisa bergabung dengan perusahaan tersebut. Sedih sih kalau ingat perjuangan Kediri-Jakarta yang sekali jalan aja harus duduk di kereta belasan jam. Tapi tidak apa-apa, karena rekrutmen ini saya jadi sering ke Jakarta dan Alhamdulillah kesampaian untuk berkunjung ke Pondok Daarul Quran Ketapang milik Ustadzuna Yusuf Mansur.

Desember segera berakahir, satu persatu instansi mulai mengeluarkan pengumumannya. Tapi sampai masuk minggu terakhir belum ada tanda-tanda hilal dari kementerian yang saya ikuti. Saya dilema karena ingin datang haul Solo tapi juga hati tidak tenang kalau belum pengumuman, Belajar dari beberapa instansi yang sudah pengumuman, jarak antara pengumuman dan pemberkasan sangat mepet. Jadi saya tidak mau ambil resiko, pasti akan repot kalau pengumaman ketika saya sudah pergi ke Solo.

Rangkaian Haul Solo berlangsung sejak Rabu tanggal 26 hingga Minggu 30 Desember. Niat saya mau berangkat Selasa atau maksimal Rabu supaya bisa bantu-bantu dulu di majelis. Tapi ternyata yang ditunggu tak kunjung datang juga. Saya tanamkan dalam hati, apapun yang akan terjadi akan saya syukuri. Kalau lolos CPNS ya pemberkasan, kalau tidak lolos ya seketika itu juga saya akan berangkat ke Solo. InsyaAllah dua-duanya baik, tinggal siapkan mental aja. Dari hari senin saya sudah mengemas barang untuk ke Solo, pun saya juga sudah mempersiapkan dokumen pemberkasan. Selebihnya, saya bener-benar pasrah ke Allah.

Akhirnya web kementerian tersebut tidak bisa diakses, biasanya jadi pertanda kalau sedang ada input data. Benar, jumat 28 Desember 2019 pengumuman keluar. Apa hasilnya? saya dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) karena nilai kebugaran tidak mencapai batas minimal. Sedih gak? ya sedih sih, tapi sebentar aja karena mau berangkat ke Solo.


Datang Haul Solo 2018 untuk Pertama Kali

Kebetulan orang tua saya ada rencana ke Ngawi, jadi saya disuruh nunggu Ayah pulang kerja dan kita berangkat bersama. Setibanya di Ngawi, saya coba hubungi kakak yang ada di Solo untuk minta tolong jemput karena saya sampainya malam. Ternyata dia masih ada kerjaan di Sragen dan menyarakan saya di Ngawi dulu. Tapi karena dia tak kunjung memberi kabar lagi, akhirnya sekitar jam 9 malam saya naik bis menuju Solo.

Mengingat waktu semakin malam, sedangkan mungkin kakak saya juga sudah lelah bekerja, jadi akhirnya saya putuskan untuk naik ojol saja. Sempat terjadi sedikit masalah ketika saya dan bapak drivernya sama-sama tidak tau kalau Panggung adalah zona merah. Ketika Bapak tersebut datang, seketika langsung dihampiri beberapa ojek pangkalan. Alhamdulillah tidak terjadi masalah dan kami segera ke Ar Raudhah.

Di luar dugaan, ternyata jalan kapten Mulyadi sudah ramai parah dan sudah di tutup total. Awalnya bapak gojeknya bilang sepertinya harus turun sini dan lanjut jalan kaki, tapi saya bilang untuk tanya dulu ke petugas yang jaga jalan. Saya jelaskan ke petugasnya kalau saya mau ke tempat Habib Novel dan bapaknya mengarahankan untuk lewat jalan kampung. Di situ saya benar-benar bersyukur, coba kalau tadi saya jadi dijemput naik mobil pasti riweh banget. Mendekati Ar Raudhah, jalanan sudah menjelma jadi parkiran. Begitu masuk, ternyata jamaah sudah penuh sampai ke halaman. Saya baru tau kalau ternyata rutinan malam jumat tetap jalan terus.

"Mbak, kata mas yang bagian registrasi Ar Raudhah sudah penuh" tulis teman saya di what's app

Saya balas dengan santai karena kita santri sini, tenang pasti bisa masuk nanti. Selesai majelis, saya bertemu dua orang teman dan laporan ke Bu Lurah. Beliau meyarankan untuk segera minta kartu free pass ke masnya dan bilang disuruh bu Lurah. Alhamdulillah, akhirnya bisa masuk asrama.


Sabtu, 29 Desember 2018. Saya tidak terlalu ingat acara apa yang saya ikuti, sebab kami (saya dan 2 orang teman) terlambat merapat ke Riyadh. Dengan kondisi yang sudah sangat padat, tidak bisa masuk dari arah manapun. Bahkan kami sudah coba dari arah timur, lalu muter ke selatan berharap masih ada ruang. Ternyata malah lebih parah, jamaah sudah meluber hingga ke timur lampu merah. Kamipun kembali ke Ar Raudhah, melewati gang sempit di tengah perkampungan. Di sepanjang jalan kami melihat banyak warga yang mengikuti acara lewat layar tv. Kami betiga terkejut ketika tiba-tiba sudah mahalul qiyam. Sementara tidak jauh dari kami, terlihat pos ronda dengan sebuah televisi yang di depannya ada beberapa orang khidmat mengikuti mahalul qiyam.

Tanpa berpikir panjang, kami yang tidak ingin kelewatan mahalul qiyam akhirnya bergabung dengan bapak-bapak itu. "Permisi pak, nderek sekedap nggeh" izin saya ke seorang bapak. Tidak berselang lama, beberapa orang yang lewatpun ikut berhenti. Selesai mahalul qiyam ya kami lanjut jalan lagi menuju Ar Raudhah. Akhirnya kamipun mengikuti rangkaian acara yang tersisa melalui layar yang disiapkan di dalam asrama.

Hari terakhir acara dilaksanakan habis subuh, jadi idealnya kita sudah berangkat sebelum subuh. Tapi ketika ba'da magrib saya jalan-jalan ke Riyadh, ternyata banyak orang yang sudah gelar tikar untuk menginap di sana. Baiklah, kalau begini berarti kita memang harus berangkat sepagi mungkin atau tidak dapat tempat seperti hari ini.

Kondisi asrama ar raudhah sangat penuh sesak, bahkan sampai ke halaman juga dipakai tidur dengan alas seadanya. Jam 2 pagi, kami ke dapur ikut bantu membungkus 3.000 nasi. Namun saya tidak bisa ikut sampai selesai karena ingin ikut prosesi acara di Riyadh. Subuh tiba, ternyata antrian mandi sudah luar biasa panjanganya. Berangkat ke Riyadh sebelum sebuh akhirnya hanya wacana.




Saya dan 2 orang teman lainnya berangkat menuju Riyadh sekitar jam 6. Sudah ramai, tapi belum separah kemarin. Semakin mendekat ke Masjid Riyadh, kerumunan orang semakin padat sampai akhirnya semua benar-benar berhenti tidak bisa lewat. Karena itu perempatan dan semua orang berusaha menuju titik yang sama, akhirnya stuck. Kalau kalian pernah merasakan gimana padatnya KRL ketika jam kerja, ya kondisinya begitu kira-kira. Sampai ada yang bilang, "udah balik aja, gak bisa maju itu, daripada malah maksiat".

Alhamdulillah, ada rombongan yang berbaik hati mau berbagi tempat. Jadi saat kami stuck, ibu itu mempersilahkan kami duduk di tikarnya. Semakin siang kondisinya semakin padat, bahkan teman saya mengabari kalau lautan manusia itu sudah luber sampai depan raudhah. Melihat kondisi seperti ini, saya berdoa semoga Allah izinkan saya datang lagi tahun depan dan datangnya tidak sendirian. Saya butuh teman, sehingga merasa lebih aman. Sebagian besar wanita tentu tidak akan nyaman jika dalam kondisi berdesakan tak karuan. Kami butuh seseorang yang bisa membukakan jalan dan pasang badan untuk melindungi kami dari sentuhan yang mungkin berdalih "ketidaksengajaan".



Benar apa yang dikatakan Bu Lurah, suasananya terasa nyessss. Meskipun konsisinya memang sangat ramai, tapi ada damai yang terasa sampai ke hati. Terlebih ketika kami melihat Guru-guru kami, Habaib dan Alim Ulama, yang lewat di depan mata. Salah satu yang saat ingat dan kenali saat itu adalah Habib Jindan. Biasanya saya hanya tau beliau dari instagram, akhirnya saya bisa melihat langsung wajahnya yang begitu tentram. Maklum, saya masih awam. Berbeda dengan dua teman saya yang mengenali Habaib seperti sudah khatam.

Ketika berada di sana, keyakinan saya tentang keberkahan majelis ini semakin besar. Dzuriyat-Dzuriyat Baginda Rasulullah, para Alim Ulama, dan ribuat ummat islam berkumpul dalam majelis yang bernama Haul. Kemuliaan Haul Habib Ali Al Habsyi seperti menjadi magnet tersendiri. Salah satu cerita yang sering kita dengar adalah makbulnya doa. Jangankan di majelis yang dihadiri banyak Dzuriyat Nabi, bahkan di majelis ilmu biasa saja kita dianjurkan memperbanyak doa. Semoga kita semua menjadi golongan orang yang diberi hidayah Allah untuk bisa melangkah ke majelis-majelis.

Saya tidak bisa menceritakan dengan sempurna, kenapa di sana bisa sampai menitikan air mata. Pun saya tidak pernah membayangkan sebelumya, tentang bagaimana suasananya yang menggetarkan jiwa, hingga akhirnya saya benar-benar hadir dan duduk di sana. Rasanya mirip seperti ketika awal-awal saya tiba di Ar Raudhah, bahkan mungkin lebih dasyat lagi. Saya bersyukur Allah berikan hidayah dan izinkan hadir di majelis yang insyaAllah penuh berkah. Sampai jumpa di haul Solo berikutnya, insyaAllah :)


Link part selanjutnya klik di sini :)




Share:

Thursday, 12 September 2019

MY SPIRITUAL JOURNEY (Part 5) - All Done and He Left

Assalamualaikum, apa kabar teman-teman?
Semoga kita semua selalu terjaga dalam kebaikan dan lindungan Allah :)

Hati saya masih berbunga-bunga, setelah sebulan lamanya charge iman di majelis Ar Raudhah. Hati yang selama ini gersang seperti tersirami, bawaannya tenang dan kalem. Memang tidak sesuai rencana, tapi ternyata sangat bermakna. Manusia boleh berencana, tapi Allah adalah sebaik-baik perencana. Teman-teman yang belum membaca ceritanya, bisa klik di sini.

Sepertinya saya benar-benar jatuh cinta dengan Habib Novel dan majelis Ar Raudhah. Dalam kenikmatan seperti ini, saya ingin mengajak serta orang-orang tercinta untuk duduk di taman surga. Alangkah indahnya bila kami bisa berjalan beriringan, saling mendukung dan berlomba-lomba dalam kebaikan di jalan yang sama. Saling menguatkan dan mengingatkan, supaya kami saling terjaga dalam ketaatan. Membayangkan saja rasanya sudah adem sekali, semoga suatu saat bisa terjadi. Sekarang, selagi saya dan dia belum menjadi kita, biarlah doa yang berbicara. Lewat tulisan ini, saya melangitkan doa di langit raudhah.



Hati saya masih berbunga-bunga, hingga tiba-tiba kabar tak terduga membuat layu seketika. Susah mendeskripsikan, namun yang jelas saya benar-benar tidak menyangka. Kondisi yang saya kira baik-baik saja, ternyata fana. Saya tidak habis pikir dibuatnya, bagaimana mungkin cerita yang berusaha saya rangkai dengan sempurna justru porak-poranda. Plot cerita berubah, bukan lagi tentang saya dan dia, tapi tentang mereka.

Dulu kejadian seperti ini yang sampai viral itu terasa lucu, kenapa orang yang ditinggal menikah itu seperti bereaksi berlebihan. Kita bisa tertawa, sementara yang bersangkutan sedang berjuang dalam kubangan luka. Ternyata mereka tidak berlebihan, tapi ada di posisi mereka rasanya tidak karuan. Ada satu titik dimana saya benar-benar kehilangan harapan, ketika semua rencana seolah berantakan. Ingin berlari, tapi tidak tau kemana hendak pergi. Ingin marah, tapi akhirnya hanya bisa pasrah. Awalnya saya ingin menyimpan semuanya sendiri, tapi guncangan ini terlampau kuat untuk saya hadapi. Akhirnya, orang-orang terdekat saya mulai meyadari bahwa ada hati yang sedang tersakiti.

Dalam kondisi seperti ini, iman menjadi sangat prinsipil sekali. Ketika hati dan pikiran sedang tidak karuan, apalagi yang bisa meyelamatkan jika bukan iman?

Perlahan, saya coba melihat ini dengan sudut pandang berbeda. Alih-alih bertanya kenapa, saya memilih untuk berbaik sangka. Tidak mungkin Allah mengizinkan ini terjadi, kecuali memang ada kebaikan dibalik ini. Tidak ada kesedihan yang abadi, terlebih bila iman masih menghiasi hati.

Senyum itu merekah kembali, ketika saya merasa Allah tidak pernah membiarkan saya sendiri. Mungkin Allah tau kalau ini akan menjadi badai, bukan angin sepoi-sepoi. Maha Baik Allah, sebelum iman saya diuji, Allah lebih dahulu berikan amunisi. Allah sudah bangunkan pondasi iman dalam hati, sehingga hempasan badai tidak akan membuat cerai berai. Alhamdulillah, masalah ini datang ketika saya baru pulang ngaji. Ibarat kata mau perang, saya bukan datang dengan tangan kosong, tapi siap dengan segala perbekalan. Sebelum prajurit terjun ke medan perang, pasti mereka harus menjalani latihan dan segala pemeriksaan. Sampai akhirnya mereka dinyatakan dalam kondisi prima untuk turun ke medan peperangan. Ketika saya harus menghadapai ini, berarti Allah sudah memastikan kalau saya siap maju dan yakin kalau saya mampu.

Banyak hikmah yang bisa kita dapatkan dari sebuah masalah. Satu keyakinan yang tidak akan pernah berubah, Allah tidak mungkin mengizinkan suatu masalah terjadi kecuali ada kebaikan di dalamnya. Ketika ada masalah ini, saya baru menyadari bahwa di sekeliling saya masih banyak orang yang peduli. Mulai dari keluarga yang seolah langsung sigap back up, hingga teman yang selalu tanggap. Saya tidak memungkiri kalau seminggu pertama itu berat sekali, rasanya saya sudah gak bisa mikir lagi. Sampai akhirnya saya memaksa untuk cepat bangkit lagi, karena saya semakin sedih melihat keluarga ikut sedih. Seiring waktu berlalu, akhirnya satu persatu teman-teman sayapun tau. Lagi-lagi saya bersyukur dan terharu, ketika mereka semua selalu menjadi ring satu. Ya, mereka yang "mengamankan" ketika ada situasi yang sekiranya berbahaya.

Alhamdulillah, Allah gerakkan semesta bersatu padu membantu saya menghapus pilu. Pada masa-masa itu, saya fokus untuk berdamai dengan keadaan dan menata masa depan. Yang lalu biarlah berlalu, kini saatnya menata masa depan. Tentu butuh penyesuaian, namanya juga baru "kehilangan". Seketika pasti jomplang, tapi perlahan kita akan bisa kembali menemukan keseimbangan. Semua saya hadapi dengan sangat perlahan dan kehati-hatian. Tidak perlu terburu-buru mengisi kekosongan, jika memang itu bukan penyeimbang yang kamu butuhkan. Hari demi hari berjalan dan saya masih terus berusaha menjaga keseimbangan. Semoga suatu saat ada kesempatan untuk menulis ini lebih dalam, siapa tau bermanfaat untuk teman-teman yang sedang berjuang berdamai dengan keadaan.


Entah kesalahan atau bukan, sayapun sudah bercerita, bagaimana dia sangat berperan dalam perjalanan spiritual yang sedang saya lakukan. Memang akan mejadi salah besar kalau dia adalah satu-satunya alasan, sebab seyogyanya kita berubah karena Allah. Bahaya kalau kita berubah karena manusia, ujungnya pasti akan kecewa. Belum lagi kalau ternyata kemudian dia pergi, pasti kita akan kehilangan motivasi.

Sayapun mencoba merangkai, mencari hikmah dari apa yang sudah terjadi. Lagi-lagi saya harus bersyukur, rencana Allah begitu sempurna. Pun saya semakin percaya bahwa Ar Raudhah dan habib Novel bukan kebetulan semata. Semua ini adalah rencana Allah Yang Maha Kuasa. Mulanya saya hanya berpikir bahwa ini adalah amunisi sebelum Allah menguji saya. Namun lebih jauh, sepertinya perlu juga berbaik sangka kalau saya sudah naik kelas dan Habib Novel adalah guru baru saya.

Ibarat sekolah, dia (ustadz) adalah guru saya. Perjalanan ini benar-benar baru, ibarat anak balita, saya belum ngerti apa-apa. Lalu, ketika masuk TK, saya begitu bahagia ketika guru mulai mengajari angka, mengenalkan warna dan mengajak bernyanyi bersama. Tapi tidak mungkin selamanya saya TK, pasti tiba masanya saya naik level dan masuk SD. Artinya tugas guru TK untuk membimbing saya sudah selesai. Sekarang akan ada guru baru yang membimbing saya menuju level berikutnya. Ya begitulah kira-kira, tugasnya sudah selesai dan Allah tarik kembali dia. Sekarang Allah kirimkan guru baru untuk saya, yaitu Habib Novel Alaydrus.

Terima kasih untuk semua yang kamu berikan ke saya. Selamat melanjutkan tugas berikutnya, semoga kamu bahagia. Pun begitu sebaliknya, tugas saya sebagai support system kamu juga sudah selesai, bertepatan dengan tanggalnya status kamu sebagai mahasiswa. Sekali lagi terima kasih untuk segalanya :)

Link part berikutnya, klik di sini
Share:

Tuesday, 10 September 2019

MY SPIRITUAL JOURNEY (Part 4) - Habib Novel Alaydrus

Assalamualaikum, apa kabar teman-teman?
Semoga kita semua selalu terjaga dalam kebaikan dan lindungan Allah :)

Sebagai seorang awam, nama Habaib rasanya begitu asing di telinga. Jangankan Habib Novel, bahkan Habib Syech yang sangat terkenal dengan shalawatnya pun masih asing bagi saya. Lalu bagaimana hingga saya bisa mumutuskan untuk mengaji di tempat yang tidak saya kenali? ceritanya ada di part sebelumnya, teman-teman bisa klik di sini


Saya tidak pernah tau siapa Habib Novel sampai akhirnya Allah benar-benar izinkan saya duduk di majelis ar Raudhah.

Pada saat itu, H-1 ramadhan, saya berangkat sendiri dari Kediri menuju Solo. Ini adalah pertama kalinya saya menuju Solo naik bis sendiri. Tidak ada yag saya kabarin, termasuk kakak saya di Solo. Saya ke sana seperti "sembunyi-sembunyi", bukan karena saya tidak ingin ditemui, tapi saya takut Syaitan membelokkan niat. Biarkan saya tenang dan fokus menuntut ilmu.

Berbekal arahan dari relawan dan teman-teman, akhirnya saya sampai juga di Raudhah setelah naik bis, naik BST, dan naik Becak. Alhamdulillah.

Cerita di mulai ketika kita sedang di mushola menjelang sholat Ashar. Di Raudhah ini ada Ustadz yang sangat cinta shalawat thabibi qalby, jadi hampir setiap kesempatan Beliau selalu mengajak kita semua bershalawat. Dengan khas suara lembut nan mendayu-mendayu, Beliau memimpin shalawat yang diikuti oleh kami semua hingga akhirnya lantunan shalawat menggema di mushola.

Jika biasanya saya mendengar klakson mobil dan motor bersautan di kemacetan Margonda. Sekarang, yang terdengar adalah lanjutan shalawat. Saya memejamkan mata, membiarkan energi itu merasuk dalam jiwa. Seketika itu, air matapun menetes, Saya merasakan kedamaian yang luar biasa.

"Jika Ustadznya saja seperti ini, kira-kira Habibnya seperti apa" saya bergumam dalam hati.



Lalu tibalah saatnya kami bertemu Habib Novel. Dengan wajahnya yang berseri-seri, Habib Novel mengucapkan selama datang di Raudah. Beliau menyebut kami tamu-tamu Allah, karena Allah yang memilih kami dan melangkah kami sampai ke raudhah.

Air mata sayapun menetes ketika Habib Novel mengatakan bertapa beruntungnya kami yang Allah pilih untuk bisa ke majelis ini. Bagi ini saya menarik sekali, sebab saya sendiri bisa sampai ke majelis ini tentu bukan karena kebetulan. Tapi Allah arahkan, Allah pilihkan, hingga Allah izinkan.

Saya masih terus berusaha untuk menata hati, memantapkan hati memperbaiki diri. Namun di sisi lain, seringkali masih dihantui hal-hal duniawi. Nama besar almamater seringkali membuat orang punya ekspektasi sendiri. Lalu ketika pilihan saya berbeda, banyak orang yang kemudian bertanya-tanya dengan nada menghakimi, seolah saya orang paling bersalah di dunia. Kondisi seperti ini yang seringkali membuat kita mengalami tekanan batin sendiri. Kami baru saja melangkah, hati kami masih mudah goyah. Tolong jangan bertanya yang membuat semangat kami patah.

Semenjak memutuskan untuk memperbaiki diri, saya benar-benar rindu kehadiran seseorang yang mendukung sepenuhnya keputusan saya, yang bisa mengerti betapa seringkali saya dilema, yang bisa menenangkan ketika ada orang yang mempertanyakan keputusan saya.

Dengan kondisi jiwa dan pikiran yang "kemrungsung", air mata saya kembali pecah ketika apa yang selama ini ingin saya dengar akhirnya terucap oleh Habib Novel.
Tidak apa-apa kalau sekarang tidak punya pekerjaan, lebih baik tidak punya pekerjaan tapi bisa beribadah ke Allah. Sekarang di luar sana, banyak sekali karyawan yang tidak bisa menikmati ramadhan. Maka anda yang tidak jadi karyawan berarti sudah menjadi bos, walaupun nganggur. Lebih baik menjadi bos yang nganggur, daripada menjadi karyawan yang diperbudak. Habib Novel




Jika saya tarik benang merah antara Ustadz Yusuf Mansur dan Habib Novel, Beliau berdua sama-sama memiliki tauhid yang luar biasa. Ini tentu saja pelajaran yang prinsipil sekali, tidak bisa hanya diterangkan tapi perlu dibuktikan. Sebab kadang kala ceritanya sedikit sulit diterima oleh logika manusia. Bagaimanapun kemampuan berpikir manusia sangat terbatas, jika dibandingkan dengan kekuasaannya Allah swt.

Tauhid ini yang mendasari hal-hal turunan, hingga hal teknis dalam kehidupan sehari-hari. Sebelum bertemu habib Novel, saya lebih dulu belajar dengan UYM mengenai sedekah dan "nol kan lagi aja". Pun dengan Habib Novel, Beliau mengajarkan kepada kami ilmu tekno tekno "habiskan habiskan".

Habib Novel bercerita jika ketika menjelang ramadhan itu saldo di rekeningnya hanya 7 juta. Padahal kalau kita mau hitung-hitungan matematis tentu saja angka itu jauh dari biaya yang dibutuhkan untuk menjamu santri ramadhan. Beliau ini orangnya anti mikir, jadi ya udah jalan aja biar Allah yang atur. "Kita punya Allah yang Maha Kaya" Kalimat yang selalu Habib katakan dengan yakin.

Selama kami di raudhah jamuan Habib sangat luar biasa. Makan kami terjamin, bahkan setiap hari pasti ada protein seperti telur, ayam, dan ikan. Bahkan sampai kebutuhan pribadi seperti odol juga diberikan secara gratis. Bahkan seringkali muncul kejadian tak terduga, seperti tiba-tiba beliau ingin membagikan hadiah.

Ambilah rezeki dengan hati yang dermawan, harta akan mengikuti orang-orang yang seperti ini

Habib Novel adalah tipe orang yang paling anti mikir. Mungkin itu pula yang membuat beliau selalu berseri-seri seperti tanpa beban. Beliau selalu mengajarkan kepada kami untuk menjadikan Allah segala-galanya. Kami tidak hanya dibiasakan mendengar itu saja, namun kami diajak langsung mempraktekkan ilmu yakin itu.
Syaratnya hatimu percaya penuh kepada Tuhanmu. Kaalau hatimu percaya penuh pada Tuhanmu tidak ada yang mustahil. Kekuatan Allah itulah kekuatan yang hakiki, yang lain kekuatan lain nisbi, cuma dititipi, ditempeli. 
Pernah suatu ketika saat ceramah di Mushola, Habib mengatakan Beliau ingin memberikan hadiah uang 15 juta untuk Ustadz Iis. Kalau uangnya sudah ada dan tinggal ambil ya itu biasa sekali. Tapi luar biasanya, Habib mengajak kami mempraktekkan ilmu yakin. Uangnya yang mau dikasihkan belum ada, tapi Habib yakin besok sore ada uang 15 juta yang akan jadi rezekinya Ustadz Iis.

Keesokan harinya, ketika kajian menjelang buka puasa, ternyata Allah benar-benar mengabulkan uang 15 juta itu menjadi rezeki ustadz Iis. Habib menjelaskan kalau setelah kajian itu ada salah satu santri yang mendatangi Habib dan menitipkan uang 5 juta untuk Ustadz Iis. Kemudian Malamnya juga ada yang memberikan pesan ke Habib bahwa sudah transfer sekian juta ke rekening Habib. Alhamdulillah, amplop coklat berisi uang 15 juta itu diserahkan kepada Ustadz Iis di depan kami semua.

Bagi saya hal seperti ini menjadi pengalaman sekaligus pelajaran berharga. Pertama, kami ikut senang ketika hajat Habib untuk menyenangkan orang qobul. Kedua, pengalaman seperti ini juga  membuat keyakinan kami kepada Allah bertumbuh. Kami yakin Allah mendengar dan mengabulkan doa kami.

Beberapa hari berikutnya, Habib Novel mengajak kami untuk mempraktekkan ilmu yakin lagi. Kali ini lebih spektakuler karena yang diminta adalah mobil mazda CX-8. Sebenarnya Beliau sudah ada mobil, namun ingin ganti yang lebih nyaman untuk dibawa dakwah ke luar kota. Habib seringkali harus nyetir sendiri, padahal seringkali sehari jadwalnya bisa dua kali mengisi.

"Nanti sebelum tanggal 29 ramadhan, insyaAllah Mazda CX-8 sudah terparkir di depan Raudhah" Ucap Habib Novel dengan sangat yakin. Namun beberapa hari kemudian deadline itu diralat karena kelamaan. Akhirnya Habib minta Jumat mendatang mobilnya sudah terparkir di depan raudhah.

Beberapa hari kemudian, ba'da shalat ashar tiba-tiba kami disuruh keluar mushola. "Semuanya kumpul di depan mushola, mobil baru Habib sudah datang" seru salah seorang relawan.


Cerita seorang teman di status what's appnya 

Habib Novel dan Santri Putri foto bersama mobil baru

Saya pernah ditanya, "nyantri kok cuma sebulan, kamu dapat apa?". Ar Raudhah ini sebenarnya adalah majelis, bukan pondok pesantren. Kami datang dari berbagai latar belakang, termasuk berbagai profesi dan usia. Ada teman-teman yang baru lulus SMA tapi juga ada yang usianya setengah abad. Pun ada teman-teman yang datang dari pesantren, banyak pula yang awam seperti saya. Sehingga Ar Raudhah sudah diatur sedemikian rupa untuk mengakomodasi itu semua. 

Sejatinya ketika kita berkumpul dengan orang sholeh, yang kita pelajari tidak hanya materi dari buku dan kitab. Lebih dari itu, apa yang kita dengar dan lihat selama di sana adalah ilmu. Seperti yang saya rasakan di sana, saya belajar dari Habib Novel bagaimana memuliakan tamu. Sayapun belajar dari Kak Ita (istrinya Habib Novel) yang tidak mau dispesialkan bahkan di rumahnya sendiri. Hal-hal seperti itu rasanya lebih mengena, daripada sekadar membolak-balik kitab yang sebagian besar dari kitapun susah membacanya.

Alhamdulillah Hamdan Katsiran Tayyiban Mubarakan fiihi. Saya datang tanpa ekspektasi, hingga akhirnya pulang dengan penuh kesyukuran di hati. Sekarang saya baru mengerti kenapa Allah belokkan langkah kaki saya ke Raudhah. Hati yang selama ini gersang dan bingung mencari "tambatan hati", akhirnya kembali terisi. Berkahnya majelis dan orang shaleh, segala beban pikiran perlahan berguguran dan Allah gantikan dengan ketenangan. Mungkin masalah itu akan tetap ada, namun jalan pikiran dan cara menyikapinya yang berbeda.

Part ini membuat saya sadar bahwa waktu bukan lagi masalah cepat atau lambat, tapi yang terpenting adalah waktu yang tepat. Timingnya sangat pas antara deadline pendaftaran Gontor dan publikasi poster santri ramadhan raudhah. Kejadian ini membuat saya semakin percaya kalau tidak ada kebaikan yang sia-sia, semua kebaikan akan dibalas kebaikan juga. Ketika ada kebaikan yang tumbuh di hati seorang hamba, Allah akan selalu menyambutnya. Ketika saya berniat memperbaiki diri, Allah hadirkan seorang guru yang sesuai. Menuntut ilmu butuh chermistry dan kesamaan frekuensi, supaya kita bisa fokus menerima kebaikan dan bukan memperdebatkan perbedaan.

Link part berikutnya klik di sini
Share:

Monday, 9 September 2019

MY SPIRITUAL JOURNEY (Part 3) - dikirim Allah ke Ar Raudhah

Assalamualaikum, apa kabar teman-teman?
Semoga kita semua selalu terjaga dalam kebaikan dan lindungan Allah :)

Sebelum sampai ke tahap ini, banyak cerita kehidupan yang harus saya lalui sebelumnya. Semua berawal dari keputusan besar untuk meninggalkan hingar bingar Jakarta dan menata hidup di Kediri. Teman-teman yang belum membaca cerita lengkapnya bisa klik di sini


Seperti yang sudah saya sebutkan di cerita sebelumnya, saya masih terus melanjutkan memperbaiki diri. Bahkan, semangat itu semakin menjadi-jadi hingga melahirkan sebuah keinginan untuk belajar agama lebih dalam di pesantren. Mungkin ini saatnya mewujudkan mimpi yang sempat tertunda, menjadi santri.

Belum ada bayangan sama sekali, pun saya terus mencari mana yang pas. Bagaimanapun ada hal lain yang juga harus saya pertimbangkan. Jadi harus mencari titik tengah, dimana saya bisa nyantri tapi kewajiban saya juga jalan terus.

Saat itu saya melihat info dari media sosial kalau di Universitas Darussalam Gontor ada pesantren kilat. Biayanya 750 ribu untuk 2 minggu, kita boleh memilih mau ikut program apa, pilihannya: Tahfidz, bahasa arab, bahasa inggris, dll. Jadi sistemnya kurang lebih kayak Gontor, pagi sekolah (belajar di kelas) sesuai program yang kita pilih. Kemudian sorenya ngaji santai, ikut kajian di masjid dan buka bersama.

Bismillah, hal pertama kudu laporan ke Allah kalau saya pengen belajar di Gontor. Guru saya, Ustadz Yusuf Mansyur mengajari untuk Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. Jangan sampai kita terlalu percaya dengan kekuatan, kekayaan, kekuasaan, sampai melupakan Allah. Giliran ada masalah, baru nangis-nangis ke Allah. Sebisa mungkin jangan ya.

Saat itu, deadline perdaftaran kurang lebih 2 minggu lagi. Berarti saya masih punya cukup banyak waktu untuk riyadhoh. Secara bahasa Riyadhoh artinya melatih diri. Praktisnya Riyadhoh yang diajarkan guru saya adalah melakukan sejumlah amalan, seperti dzikir pagi petang, al waqiah pagi petang, shalawat minimal 100 perhari, dll. Semua harus dilakukan secara konsisten terus menerus dan disertai keyakinan bahwa hajat kita akan dikabulkan.

Amalan harian itu terus saya lakukan, bahkan ada waktu dimana saya kebut shalawat hingga 4400 dalam sehari. Ustadz mengatakan minimal 100 perhari, kalau bisa 1000 lebih bagus, tapi kalau butuh cepet banget coba 4400.

h-7 saya "ingetin" Allah lagi, ketika selesai sholat masih di atas sajadah dan lengkap dengan mukena, saya taruh handphone dengan gambar poster itu di layar. Lalu saya bilang, "Ya Allah, udah h-7 nih. Aku percaya gak ada yang gak mungkin".

Alhamdulillah, rezeki cukup lancar pas itu. Tapi cerita belum selesai di situ, karena setiap ada rezeki saya langsung nol kan lagi. Percaya konsep sedekah kan?. Ustadz Yusuf Mansyur selalu mengajarkan itu, jadi misal saya butuh 750ribu tapi baru ada duit 500ribu. Kalau mau dibayarkan juga uangkan masih kurang, jadi lebih baik nol kan dulu aja. Itu tidak sekali, tapi berkali-kali dengan nominal yang berbeda-beda tergantung berapa rezeki yang saya punya saat itu.

Mungkin kalian akan bertanya, "bukannya malah kurang lebih banyak?" Iya, secara hitungan matematis memang begitu. Tapi kita sedang "bertransaksi" dengan Allah, Ya Malikul Mulk. Matematika sedekah itu berbeda dengan matematika dagang. Kalau kita punya 10, disedekahkan 1 maka hasilnya bukan 9 tapi 19. Sebab, yang 1 itu akan dikalikan 10. Bahkan satu bisa digantikan dengan 700 kali lipat.

Tapi yang perlu saya tekankan di sini, rezeki dari Allah itu macam-macam bentuknya. Jadi balasan itu tidak hanya selalu bentuk perhitungan angka (uang). Bisa juga berupa kemudahan urusan, kesehatan, keselamatan, dll. Tidak ada yang namanya sedekah sia-sia, setiap kebaikan akan dibalas dengan kebaikan.

Begitu tiba h-3, saya ulang lagi untuk mengingatkan Allah. Sampai akhirnya hari terakhir pendaftaran dan uang saya belum terkumpul juga. Selesai shalat isya, di situ saya nangis sejadi-jadinya, sampai saya bilang, "Ya Allah niat saya kan baik, kenapa engkau tidak mengizinkan aku kesana."

Sampai akhirnya air mata sedikit mereda dan saya ambil hp, lalu duduk lagi diatas sajadah. Di sinilah yag bikin saya speechless, Allah punya rencana lain. Saya membuka hp dan seketika tangan saya memencet instagram, lalu postingan pertama yang muncul di beranda saya adalah postingan Ustadz Yusuf Mansyur tentang santri raudhah 2018.



 "Kesempatan bagus, jangan sampai dilewatkan" kurang lebih begitu caption Ustadz Yusuf Mansur.

Seketika itu yang ada dipikiran saya, "Gak mungkin Ustadz Yusuf Mansur merekomendasikan majelis yang tidak baik". Baru saya baca pelan-pelan poster tersebut. Kemudian yang saya lakukan berikutnya mencari tau siapa Habib Novel, Dimana Ar Raudhah, dan apa program dari santri ramadhan raudhah.

Saya bukan santri, bukan pula orang yang aktif dalam organisasi keagamaan, jadi nama Habib Novel benar-benar asing. Tapi setelah saya cari-cari informasinya, akhirnya saya mantap untuk ngaji ke tempat Beliau saja.

Saat itu juga saya langsung izin orang tua. Sama seperti saya, orang tua bertanya siapa habib Novel. Lalu saya jelaskan kronologi semuanya, termasuk keinginan saya awalnya ke Gontor. Awalnya saya memang gak bercerita ke siapapun mengenai keinginan saya, ke orang tua ataupun ke dia. Saya berusaha menjaga niat, ke Gontor ya emang mau belajar, bukan karena ada dia di Gontor. Walaupun kampus Gontor Pusat dan Unida itu berbeda lokasi, tapi tetap saja saya menyadari lemahnya hati ini.

"Sekarang kamu mau tetep ke Gontor apa ke Solo? Kalau mau ke Gontor juga gak apa-apa, daftar sekarang ayah bayarin" kurang lebih begitu respon Ayah saya waktu itu

Akhirnya saya tetep memilih ke Solo, seketika saya langsung menghubungi Bah Edwin. Setelah memastikan kuotanya masih ada, barulah saya daftar. Selanjutnya saya tinggal berangkat ke Solo, kota yang sebenarnya tidak terlalu asing bagi saya.


Link part berikutnya klik di sini
Share:

Sunday, 1 September 2019

MY SPIRITUAL JOURNEY (Part 2) - Menata Hidup di Kediri

Assalamualaikum, apa kabar teman-teman?
Semoga kita semua selalu terjaga dalam kebaikan dan lindungan Allah :)

Cerita ini merupakan kelanjutan dari cerita sebelumnya yang bisa teman-teman baca di sini

Di part 2 ini saya bercerita tentang keputusan saya untuk pulang ke Kediri. Kemudian setelah kepulangan itu, Allah izinkan saya menjadi bagian dari Gontor. Pun Allah kirimkan seorang Gontorian untuk menemani saya di fase ini. Sepertinya Allah mengirimkan Beliau untuk melanjutkan tugas kakak. Iya, tugas kakak untuk mengenalkan gontor ke saya sudah selesai (Red: lost contact)

Dua hal itulah yang menjadi highlight pada fase ini, yang kemudian mendorong saya untuk memperbaiki diri menjadi Ima yang lebih syari.



Pada tahun 2013 saya melanjukan kuliah di salah satu universitas di Depok dan lulus pada tahun 2017. Menjelang masa kelulusan, hati saya seperti sudah tertinggal di Kediri. Seringkali saya nekat menempuh perjalanan belasan jam hanya untuk menikmati 2 malam di rumah. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk benar-benar meninggalkan Jabodetabek tepat sehari setelah wisuda. 

Sampai detik ini saya masih meyakini ini adalah keputusan terbesar yang saya ambil seumur 24 tahun. Pulang ke Kediri berarti saya harus siap berkompromi dengan segala ambisi dan siap memulai segala sesuatu sendiri. Banyak yang bertanya kenapa saya memutuskan pulang secepat ini. Tapi itu sama sekali tidak membuat saya memikirkan keputusan saya lagi.

Saat itu saya tidak bisa bertahan di Jakarta, ada "harga" mahal yang harus saya bayar jika memaksa terus bertahan. Saya tidak menemukan apa yang saya cari di sana. Di lain sisi, jauh sebelum ini, Allah mengirimkan seorang lelaki yang baik (menurut saya), baik dari segi agamanya maupun yang lain. Kesempatan tidak datang dua kali, saya memutuskan berhenti mencari. Perlahan-lahan muncul sebuah keyakinan untuk menjadikannya bagian dari masa depan. Siapakah dia? sebut saja Ustadz. 

Pada awal kepulangan saya, belum ada perubahan apapun. Sama sekali tidak ada yang berbeda dengan diri saya, kecuali sekarang sudah tidak di Jakarta. Semua mulai berbeda ketika saya mengantar adik saya untuk ke Gontor. Iya, Allah kabulkan doa saya 7 tahun lalu lewat adik saya. Dia yang akhirnya masuk Gontor, bukan saya. 

Saya di sana menemani dia mulai dari ngurus pendataran, ujian sampai akhirnya pengumuma. 10 hari tinggal di lingkungan pondok, bertemu dengan banyak orang dari berbagai daerah dan latar belakang. Ketika di sana, saya masih pakai kerudung paris dan bercelana kulot. Sampai adik saya bilang, "Kak, jangan pakai celana dong, kan mau masuk lingkungan Pondok".

Adik saya ini adalah orang pertama di keluarga kami yang masuk pesantren. Jadi bukan hanya dia yang serba meraba-raba, kamipun sekeluarganya hactic luar biasa saking gak taunya. 

Di sinilah Allah itu memang sudah merencakan sesuatu dengan sangat sempurna. ustadz saat itu masih tercatat sebagai mahasiswa pengabdian di Gontor Pusat. Sebagai orang terdekat saya, sedikit banyak diapun punya peran, setidaknya untuk memberi sedikit pencerahan. 

Singkat cerita, alhamdulillah adik saya lulus ujian masuk Gontor dan penempatan kampus 2. 

Pulang dari Gontor, perlahan-lahan hati saya mulai terbuka untuk memperbaiki diri. Saya berusaha untuk memantaskan diri lahir batin. Secara lahiriyah, saya mulai menggantikan jeans dengan kulot, hingga akhirnya benar-benar pakai gamis dan hijab syari kemana-mana.

Saya masih ingat sekali gamis pertama yang saya beli di ITC Depok. Sekitar bulan Agustus 2017 saya ada keperluan ke kampus, lalu saya mampir ITC Depok untuk membeli kulot bahan black out. Pencarian tak kunjung menghasilkan padahal saya udah menyusuri setiap bagian. Sampai akhirnya saya malah menemukan set gamis syari lengkap dengan jilbab syari yang dibandrol dengan harga cukup murah. Ya sudah sayapun memutuskan untuk beli 2 set gamis syari.

 Lalu secara batiniyah, saya mulai banyak belajar lagi ilmu agama. Khususnya yang berkaitan dengan kehidupan pernikahan, seperti menambah bacaan tentang ilmu parenting, ikut kajian pranikah, dll. 

Perilaku dan tutur kata saya juga jadi berbeda. Saya sangat jarang ngopi, malu aja masak udah pake hijab syari masih kluyuran. Postingan saya selalu bernuansa islami, bahkan kalau ada teman yang curhat akhirnya saya ceritain Nabi-nabi. 

Misal, ada temen nih yang cerita kalau dia naksir cowok tapi cowoknya cuek. Jawaban saya saat itu adalah, "bawa ke doa aja. Allah mampu membelah lautan untuk Musa, masa iya Allah gak bisa gerakkan hatinya satu orang untuk kamu."

Pokoknya super sekali, sampai Ibu saya takut kalau saya sudah kena cuci otak aliran radikal. Tapi ya tentu saja tidak, ini semua semata-mata karena saya ingin memperbaiki diri. 

Di samping menyesuaikan diri karena kami sudah mejadi keluarga Gontorian. Kehadiran Ustadzpun sangat memotivasi, karena saya jadi tidak merasa asing dan "sendiri". Dia tidak pernah menuntut apapun kepada saya, sebaliknya justru dia selalu mengapresiasi perubahan yang saya lakukan. Seneng aja ketika misalnya saya kasih lihat foto pertama saya bergamis dan dia bilang "kamu keren". Sesimpel itu, tapi itu sangat bermakna buat saya. Berubah itu mudah, istiqomah yang susah. Godaannya banyak sekali, tapi tentu Allah sudah tau iman saya masih lemah. Jadi Allah kirim dia untuk menguatkan, bahkan kadang hal-hal semacam itu muncul karena saya melihat statusnya yang berisi nasehat agama, amalan harian, kalam Allah, Hadits, dll. Semua itu sedikit banyak tentu memberikan insight dan mempengaruhi saya. 

Pada fase ini, saya seperti menjadi Ima yang benar-benar baru. Saya harus berjuang keras melawan diri saya sendiri, belajar merubah apapun yang dulu saya lazimi. Efeknya tentu saja saya sering konflik batin karena beberapa hal yang prinsipil sekali. 

Salah satu contohnya terjadi sekitar bulan September 2017, ketika saya mendapat panggilan dari bank BNI Syariah. Saat itu saya baru memperlajari masalah riba, inilah yang membuat saya sempat ragu. Setelah beberapa hari berusaha mencari lebih dalam, berbekal pengetahuan yang sangat terbatas, saya menyimpulkan bahwa bank syariah masih bisa dijadikan opsi. 

Akhirnya saya memilih menghadiri undangan rekrutmen tersebut ke Jogja. Tiba hari H, saya mengalami konflik batin selanjutnya karena dilema harus mengenakan pakaian seperti apa. Biasanya saya selalu memakai gamis dan khimar panjang, jelas saya tidak mungkin memakai itu pada acara ini. Sebagaimana rekrutmen lain, biasanya akan dianjurkan untuk memakai office look. Terlebih lagi ini adalah perbankan, dimana penampilan itu seringkali menjadi penilaian. 

Setelah lama mix and match di penginapan, sayapun memutuskan menggunakan kulot warna gelap, blazer dan kerudung segi 4 berbahan satin yang menutup dada. Menariknya, ada kejadian yang terjadi di luar logika saya pada rekrutmen ini. Sempat merenung sebentar, apakah ini suatu pertanda dari Allah? Akhirnya saya putuskan ini adalah rekrutmen perbankan pertama dan terakhir yang pernah saya ikuti. 

Saya terus memperbaiki diri sampai akhirnya tahunpun berganti. 2018, tahun dimana menjadi deadline yang saya berikan untuk ustadz memperjalas segalanya yang perlu diperjelas. 

Sampai bertemu di part 3, klik di sini :)




Share: